Posts Tagged ‘public

17
Feb
13

Pangkalan Ojek

Ojek merupakan salah satu moda transportasi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang menarik adalah bagaimana pangkalan ojek sering berada ditempat yang strategis sehingga mudah dijagkau oleh para calon penggunanya. Pangklan ojek ini terkadang berada di ruang terbuka (open space) seperti lapangan, taman kota (ruang hijau), dan sebagainya dan lokasinya mudah dilihat dari berbagai arah Ada pula yang memanfaatkan badan jalan (pedestrian way) sebagai tempat pangkalan ojek sehingga mengganggu sirkulasi pejalan kaki. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap lingkungan sekitar, bisa berdampak positif maupun negatif. Sebagai contoh ditempat berskala besar seperti terminal terdapat beberapa pangkalan ojek dan fenomena yang pengamat lihat adalah terbentuknya kerumunan yang terdiri tidak hanya dari tukang ojek tetapi juga penjual makanan hingga pengamaen yang menetap disana. Pangkalan ojek memiliki karakteristik yang berbeda-beda berdasarkan skala tempatnya berada. Akankah ruang yang tercipta pada pangkalan ojek pertigaan gang sempit sama dengan pangkalan ojek didepan Sekolah Menengah Atas. Karakteristik serta kulaitas ruang yang tercipta akibat adanya pangkalan ojek disuatu lingkup wilayah yang berbeda adalah salah satu yang akan coba diamati.
Pemahaman dapat dilakukan juga dari bagaimana proses terbentuknya suatu kelompok sosial yang terdiri dari individu-individu tukang ojek hingga terbentuk suatu organisasi yang sifatnya temporer maupun permanen yaitu pangkalan ojek. Serta bagaimana masyarakat sekitar serta budaya setempat mempengaruhi sebuah pangkalan ojek juga menjadi faktor pembentuk suatu komunitas ojek. Lingkungan sekitar seperti alam dan ruang hijau mempengaruhi suatu pangkalan ojek seperti dibeberapa tempat pangkalan ojek bernaung dibawah pohon-pohon besar sebagai naungan. Faktor-faktor seperti ini akan mempengaruhi pula perkembangan suatu pangkalan ojek. Dari sekedar pengamatan singkat yang pengamat lihat terdapat pangkalan ojek yang awalnya hanya terdiri dari tiga orang berkembang menjadi belasan dan sekarang memiliki saung untuk tempat beristirahat yang juga diberi tanda sebagai “Pangkalan Ojek”.
Pangkalan ojek telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Bagaimana ruang yang terbentuk akan berkembang seiring waktu dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya ? Apakah pangkalan ojek sebagai komunitas yang berkumpul berpotensi untuk meningkatkan kualitas suatu wilayah atau distrik ? Bagaimana hubungan desain perkotaan dengan ruang tersebut?

11
Jan
12

AYO! Siapa ligat dia dapat!

Ayoo, siapa ligat dia dapat, siapa kuat dia dapat!

Begitu anggapan saya saat ingin menaiki bikun di pagi hari dari hari Senin sampai Jumat.
Bikun adalah singkatan yang biasanya mahasiswa UI sebut untuk bis kuning.
Bikun ini sendiri terbagi berdasarkan jalurnya, ada sebutan bikun yang berwarna merah dan ada yang berwarna biru. Maksudnya bukan bisnya yang berwarna merah atau biru, melainkan ada sebuah tanda kertas seukuran A3 yang dipampang di depan kaca bis ini sebagai tanda jalur mana yang akan dilewati oleh si bikun warna biru atau merah. Bikun yang memiliki tanda merah akan melewati jalur Fakultas hukum terlebih dahulu sedangkan bikun yang memiliki tanda biru akan melewati fakultas teknik terlebih dahulu.
Namun sayangnya, ada suatu fenomena yang biasa terjadi saat pagi hari bahwa bikun tersebut menjadi penuh sesak, orang-orang berebutan, tidak ada sistem antrian. Apalagi jika sudah tiba rombongan mahasiswa yang naik kereta, halte stasiun tersebut menjadi semakin ramai, orang-orangpun berebutan untuk naik bikun duluan. Semua bertumpuk di stasiun, bahkan ada beberapa orang yang dengan gampangnya turun di psikologi tanpa memikirkan jarak betapa dekatnya halte stasiun dengan psikologi, betapa ramainya orang-orang yang butuh bikun untuk tujuan yang lebih jauh. Mereka lebih memilih naik bikun daripada hanya berjalan sedikit. Saya berpikir “Kenapa dia tidak turun di stasiun saja tadi, penuh-penuhin saja” Di pagi hari memang sangat ramai bahkan ada yang sudah menunggu lama tapi tidak kedapatan bikun, semua berebutan tidak ada sistem antrian yang baik.

Sangat disayangkan bahwa sebenarnya ada alternatif lain untuk mencapai fakultas masing-masing selain bikun. Contohnya adalah sepeda kuning, akan tetapi sepeda kuning tersebutpun baru bisa dipakai pukul 08.00 WIB, sedangkan jam padat-padatnya orang naik bikun adalah jam 08.00 WIB kurang karena banyak para mahasiswa yang masuk kuliah pagi.
Mereka saling berebutan karena takut telat dan takut tidak dapat tempat di dalam bikunnya serta takut harus menunggu bikun yang lainnya lagi datang. Terkadang saya kesal karena saya telah menunggu lama namun karena didesak orang-orang banyak dan saya malas untuk melawan maka cenderung saya lebih memilih mengalah karena tidak mau berebutan.

Lantas bagaimana sikap kita sebagai mahasiswa arsitek dalam menanggapi hal ini? Bagaimana bisa orang-orang lebih mau memilih transportasi umum jika keadaanya seperti ini. Jika tidak menggunakan transportasi umum bagaimana bisa mengurangi macet di sekitar stasiun UI pada pagi hari. Jika sistemnya seperti ini maka orang-orang tentu akan lebih cenderung naik kendaraan pribadinya sendiri dibanding menggunakan transportasi umum UI dan jika begitu maka lahan parkir akan semakin banyak dibutuhkan sehingga membuat lahan hijau juga akan semakin berkurang. Contohnya parkiran motor fakultas teknik yang kini telah diperbesar.

26
Dec
10

“anak mall”

Pusat perbelanjaan atau mall sekarang ini sedang  marak dibangun di Jakarta.  Banyak orang yang menentang pembangunan mall yang berarti menutup daerah resapan air.  Orang-orang yang menentang tersebut berpendapat bahwa lebih baik dibuat sebuah taman kota daripada sebuah gedung pusat perbelanjaan (lagi). saya sesungguhnya termasuk dari orang-orang yang pada awalnya berpendapat demikian.  Mall sudah banyak terdapat di jakarta, untuk apa dibangun lagi?  Namun, setelah saya berpikir lebih dalam, pendapat ini dapat dibilang terlalu naif bagi masyarakat Jakarta.

Mengapa saya berpendapat demikian? saya melihat fenomena yang cukup aneh yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, Jakarta khususnya.  Fenomena ini adalah ramai (atau sangat sangat sangat ramai)nya pusat perbelanjaan di Jakarta pada saat menjelang hari raya, akhir tahun, atau event-event lain.  Pusat perbelanjaan dimanapun dipenuhi orang-orang yang sibuk memborong barang-barang hasil ‘buruannya.  Ya, semua pusat perbelanjaan DIMANAPUN.  hal ini berarti masyarakat Jakarta akan terus datang ke suatu mall yang, katakan baru dibuka dan padahal mereka awalnya mengatakan bahwa mereka tidak setuju dibangun mall (lagi) di daerah tersebut, namun mereka pada akhirnya tetap datang dan berbelanja (yang berlebihan dan sesungguhnya tidak diperlukan)  di situ. Mall manapun akan terlihat ramai di event-event tertentu.

Hal ini tidak lepas dari sifat masyarakat Jakarta yang memang cenderung konsumtif.  Namun, apakah mereka pada dasarnya memang segitu konsumtifnya?  Ini berhubungan pula dengan pihak mallnya sendiri.  Ketika telah dibangun mall di suatu tempat, maka secara tidak langsung akan mengubah pola hidup orang di sekitarnya.  Contohnya, orang yang rumahnya berada di daerah tersebut akan datang ke mall, padahal tadinya ia jarang belanja karena alasan jarak yang jauh.  Orang yang sudah biasa datang ke mall (biasanya) akan ‘ketagihan’ dan terus menerus datang ke sana.

Saya sendiri mengakui bahwa saya termasuk dari orang yang ‘ketagihan’ datang ke mall.  di luar saya mengakui bahwa “aah bosen ke mall terus” tapi ketika jadwal kuliah sedang padat, saya akan berkata “aah bosen nih pengen jalan-jalan ke mall” atau “aduh kangen nih ke mall”.  itu bukti bahwa saya menjadi salahsatu ‘korban mall’.  dan pastinya hal ini juga terjadi pada hampir semua masyarakat Jakarta. Mall sudah menjadi seperti sebuah kebutuhan.

Lalu, ketika melihat kenyataan yang ada, mulai muncul pertanyaan “dengan kehidupan masyarakat Jakarta yang seperti ini, pantaskah dibuat sebuah lahan hijau sebagai pengganti mall?”  apakah nantinya akan bermanfaat bagi sebagian masyarakat? atau hanya akan menjadi sebuah tempat pusat kriminal-vandalisme, transaksi terlarang, perkumpulan kelompok tertentu ,dll- apakah masyarakat yang sudah terbiasa refreshing dengan pergi ke mall akan mau “berpindah haluan” ke taman kota?  ini semua adalah karena kebiasaan pergi ke mall yang sudah tertanam sejak dulu, maka untuk mengubahnya akan sulit, karena tergantung pada diri masing-masing..

membangun taman kota instead of mall tidaklah salah. ini semua sesungguhnya bergantung pada societynya. pertanyaannya: maukah kita mengubah kebiasaan menjadi lebih baik, sehat, hemat, dan tidak merusak lingkungan?  jangan hanya memprotes pembangunan mall, lalu ketika mall sudah dibangun kita pergi kesana sesering mungkin sedangkan pergi ke taman kota sendiri tidak pernah..

25
Dec
10

Siapa seharusnya yang menggunakan toilet difabel..?

Berbagai tempat di Jakarta telah menyediakan toilet yang memadai. Toilet memadai disini dimaksudkan kepada penyediaan toilet difabel, yaitu toilet yang didesain khusus bagi para penyandang cacat dan lansia. Yang membedakan toilet biasa dengan toilet difabel adalah dimensi. Toilet difabel yang merupakan toilet duduk ini berukuran 2-3 kali lebih besar dibanding toilet biasa. Dalam toilet difabel terdapat banyak pegangan yang bertujuan membantu para difabel untuk duduk atau berdiri sehingga memudahkan mereka untuk buang air. Selain itu, ukuran kloset lebih tinggi dari kloset pada umumnya agar para difabel dapat dengan mudah duduk jika ia pindah dari kursi roda ke kloset.

Di kantor, pusat hiburan dan perbelanjaan, dan tempat publik lainnya sudah menyediakan toilet khusus bagi para difabel. Toilet difabel pada umumnya diletakkan dalam satu ruangan dengan toilet biasa. Toilet difabel biasanya diletakkan pada bilik paling dekat dengan pintu masuk. Hal ini bertujuan supaya para difabel dengan mudah menjangkau toilet tanpa harus menempuh jarak yang jauh. Namun ternyata pada kenyataannya banyak orang yang karena terburu-buru ingin buang air dan malas berjalan jauh untuk bilik yang lebih jauh, mereka memasuki toilet difabel karena paling dekat dengan pintu masuk. Bagaimana jika ketika toilet difabel mereka pakai, dan pada saat yang sama ada difabel yang ingin memakai toilet tersebut..?

Hal ini lebih kepada kebiasaan dan budaya dari pengguna toilet. Banyak tempat yang para pengguna toiletnya tidak akan memasuki toilet difabel walaupun toilet biasa penuh sekalipun, sehingga mereka harus mengantre toilet biasa. Walaupun beberapa kejadian, ketika toilet penuh dan toilet difabel kosong cleaning service mengijinkan orang yang mengantre untuk memasuki toilet difabel. Namun, karena tidak ada pengguna biasa yang memasuki toilet difabel, makanya orang-orang tidak memasuki toilet ini walaupun toilet biasa penuh. Namun, jika sebelum-sebelumnya telah ada pengguna biasa yang menggunakan toilet difabel, nantinya akan diikuti oleh yang lain. Hal ini menunjukkan kebiasaan dan mencontoh perilaku orang-orang sekitar.

Kebiasaan dan perilaku orang-orang seperti ini sebenarnya tidak menjadi masalah besar bagi orang lain. Simpel memang. Namun, perilaku mereka ini tidak pada tempatnya, yang seharusnya mereka tidak lakukan malah mereka lakukan. Mereka secara tidak langsung mengambil hak para difabel dalam penggunaan toilet mereka. Sudah tersedia toilet umum yang lebih banyak dari toilet difabel yang hanya terdapat satu dalam tiap ruang toilet, tetapi karena kemalasan dan ketidakpedulian mereka menggunakan toilet yang seharusnya tidak mereka gunakan.

Apakah kebiasaan itu akan terus dipertahankan..? Apakah toilet difabel boleh digunakan siapa saja..?

25
Dec
10

Minggu pagi di alun alun kota..

Anak-anak berseragam olahraga berlarian, sebagian menghampiri para pedagang gerobak makanan dan minuman di jalanan alun-alun, sebagian lain bermain basket dengan asyiknya di lapangan, ada pula yang sekedar duduk-duduk di pinggiran sambil berbincang dengan temannya. Pemandangan inilah yang biasa terlihat di alun alun kota Serang sehari-harinya.  Namun tak sama halnya ketika hari minggu tiba. Jalanan  tempat anak-anak berlari  dan trotoar bertransformasi menjadi  ‘pasar dadakan’ ,  berbagai pedagang kaki lima menjajakan barang dagangannya.  Yang dijual tidak tanggung-tanggung mulai dari makanan dan minuman, hingga pakaian, tas, buku, bantal, mainan, bahkan tanaman dan hewan peliharaan juga tersedia. Semua lengkap untuk memenuhi keinginan berbelanja  masyarakat.

Tidak hanya dapat puas berbelanja atau sekedar mencuci mata, alun-alun juga menjadi tempat yang menyenangkan bagi orang tua yang memiliki anak yang masih kecil. Lapangan basket di hari minggu ‘disulap’ menjadi taman bermain anak-anak. Ada bom-bom car, mandi bola, odong-odong, bianglala mini, gelembung sabun, balon, dan lain sebagainya yang membuat anak-anak betah bermain.

Para orang tua yang senang olahraga pun dapat mengikuti senam pagi di lapangan basket sebelahnya.  Jalanan di depan lapangan menjadi tempat instruktur  senam memperagakan gerakannya. Sebagian orang lainnya datang hanya  untuk nongkrong di pagi hari dengan kenalannya, atau hanya sekedar menghabiskan waktu libur.

Apa yang terlihat di alun-alun sangat semrawut, penuh orang, penuh kegiatan yang sebenarnya tidak tepat pada tempatnya.  Namun, alun-alun menjadi tempat yg dianggap sebagian masyarakat menyenangkan di minggu pagi.  Tempat yang dituju banyak orang untuk berkumpul, berolahraga, atau sekedar jalan-jalan.  Dulu, sebelum saya mendapatkan kuliah keseharian dan arsitektur, saya menganggapnya sebagai  chaos, menyimpang dari yang seharusnya, merusak pemandangan kota, namun sekarang saya mempertanyakannya kembali, apakah alun-alun seperti inilah yang sebenarnya berfungsi dengan baik?

25
Dec
10

seberapa pentingkah sebuah taman (kota)??

Hakekatnya sebuah taman yang terletak disuatu kota dimaksudkan sebagai penyerap dari berbagai polusi yang diakibatkan oleh aktivistas penduduk, seperti meredam kebisingan maupun yang paling significant adalah menyerap kelebihan CO2, untuk kemudian dikembalikan menjadi oksigen (O2). Selain itu taman kota dapat mempercantik estetika sebuah kota, apalagi dengan mempertahankan keasliannya dari keindahan suatu taman dapat tercermin wajah kota itu sendiri. adapun satu lagi fungsi taman kota menurut saya yaitu sebagai sarana untuk bersosialisasi, dimana taman kota menjadi tempat bagi berbagai macam aktivitas sosial seperti berolahraga, rekreasi, diskusi dan lain-lain. Fungsi ini pada dasarnya menjadi kebutuhan warga kota sendiri yang secara naluri membutuhkan ruang terbuka untuk bersosialisasi sekaligus menyerap energi alam…

Jadi secara garis besar fungsi taman dapat digolongkan dari 3 hal yang telah saya paparkan diatas kan. Nah, sekarang mari kita tengok taman kota yang berada di kota Jakarta! Jakarta dewasa ini sudah memiliki beberapa taman kota, tapi apakah benar taman kota itu telah berjalan sebagaimana fungsinya??

Ambil contoh TAMAN SENOPATI, lokasi Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat….tepatnya pada hari minggu pagi saya ke sana dengan tujuan awal ingin hunting foto untuk tugas  mata kuliah fotografi yang waktu itu saya ambil. sesampainya disana saya sangat “speechless” dengan keramaian taman kota yang hijau dan tentunya dengan adanya beberapa komunitas yang saat itu sedang berkegiatan disana.. WOW! it’s the real (city) park i guess…komunitas musisi jalanan yang lagi “sharing” keahliannya….. dari yang muda sampai yang tua, dari pribumi sampai wna!

file:///Users/macbookpro/Desktop/eper.jpg

selain itu ada pula komunitas pelukis, break dancer, dan beberapa keluarga yang sedang menikmati kebersaam bersama keluarganya menghirup udara segar dari pepohonan rindang ditaman tersebut… selain untuk memperindah kota dan juga penyedia lahan hijau disinilah juga taman itu berjalan sebagaimana fungsinya sebagai taman “kota” yang dapat difungsikan oleh masyarakat di kota tersebut.

yah walaupun Taman senopati ini sudah cukup fungsional, namun tetap harus diperhatikan pemeliharaannya dan stabitasnya! begitu juga dengan taman kota lainnya… hal ini dikarenakankita tergolong negara tropis dibutuhkan lebih banyak taman kota untuk paru-paru kota guna meredam hawa panas yang menyengat.

Selain itu apabila taman kota di Indonesia ini berjalan sebagai mana fungsinya TAMAN (KOTA) Warga kota juga senang, sebab ketika libur, alternatifnya tak cuma ke mall selain itu terhibur dengan hasil kerja yang sungguh-sungguh, dipersembahkan untuk mereka…. Jadi sudah bisa dijawabkan seberapa pentingkah sebuah taman kota untuk kota atau bahkan negara kita ini 🙂

25
Dec
10

“WC” Terbesar di Kota Depok

Hampir setiap hari saya ke tempat ini, bertemu dengan para komuter, calo, calon penumpang, penumpang, pedagang, pengemudi angkutan umum, pengamen, pengemis, petugas DLLAJ. Ada sensasi  tersendiri kalau datang ke tempat ini. Saat angkutan umum 04 yang saya tumpangi berbelok ke arah kiri sebelah utara ITC Depok dalam hati saya dan mungkin penumpang lain berguman “ah sial, kenapa harus masuk “. Bau pesing dan oli angkutan umum cukup menyengat hingga kami para penumpang hampir selalu menutup hidung.  Sampah kertas biru kecil tanda retribusi yang hanya dua ratus rupiah bertebaran di dekat loket pembayaran. Saya berharap suatu hari saya tidak melihat kertas mubazir itu lagi karena toh para supir selalu membayar selama  masih ada petugas yang mengawasi, minimalnya, ukuran kertas diperkecil menjadi seukuran voucher pulsa 5000 yang sekarang beredar. Loket terminal horor sekali. Catnya sudah mengelupasi dan dindingnya seperti sudah digerogoti. Para petugas DLLAJ yang berpakaian rapi sangat tidak cocok berada didalamya. Image yang terbentuk jadilah lebih buruk lagi. Benar-benar tak terurus.. Belum lagi macet yang membuat kami makin lama berada didalamya. Aneh, saya  berpikir mengapa kami harus masuk ke tempat ini berlama-lama, membayar dua ratus rupiah hanya membuat waktu kami terbuang sia-sia. Saya juga prihatin dengan para supir yang seharusnya mereka bisa menghemat bensin dan mendapat penghasilan lebih tanpa bermacet ”ria” di tempat ini. Omelan, keluhan para supir angkot yang hampir menyerempet satu sama lain. Belum lagi ternyata mereka harus menghadapi para penagih pungutan yang jumlah pungutannya sekitar 50 kali lipat dari retribusi parkir ketika masuk terminal..

Itulah cuplikan keseharian saya tentang buruknya salah satu fasilitas publik di Kota Depok. Saya mencoba mengeluarkan sedikit unek-unek tentang hal ini.

Terminal Depok. Sebuah tempat transit berbagai angkutan umum dalam dan luar kota. Bisa dibilang fungsinya hampir sama dengan jantung di tubuh kita, membuang darah kotor mengangkut darah bersih ke seluruh tubuh (menurunkan penumpang dan dan membawa penumpang ke tempat tujuan). Selain terdapat transportasi, disini juga merupakan tempat berkembangnya perekonomian sebagian warga yang berjualan disini. Ada pasar yang berkembang akibat  jalur calon penumpang kereta api.  Ada rumah makan akibat adanya kebutuhan makan para supir dan penumpang. Berbagai kebutuhan ada di tempat ini. Sayang, pemenuhannya masih kurang maksimal.

Mungkin kebutuhan krusial sudah terpenuhi,

Mau makan- ada makanan
Mau pergi- ada angkot/bus/kereta
Mau belanja-ada barang dagangan yang bisa dipilih sesuka hati

Namun..

Tempat makan seperti apa? Dekat WC dan Bau atau Bersih, higienis dan nyaman
Tempat menunggu seperti apa? kotor , rawan tindak kriminal atau bersih dan nyaman
Tempat belanja seperti apa? Sempit, becek, atau luas dan aman

Menurut saya, kebutuhan yang dipikir sudah terpenuhi akhirnya melupakan hal lain yang dipikir juga tidak penting. Arti ruang dan tempat menjadi sangat rendah. Ujungnya ada image yang melekat. Terminal yang memang notabennya di padati oleh warga berekonomi rendah identik dengan tempat yang kotor dan jorok. Saya yakin mereka sebenarnya tidak menginginkan itu semua. Apakah itu semua keadaan berkota yang mereka inginkan? Kualitas hidup akibat keadaan yang seperti itu sangat tidak baik bagi kehidupan mereka. Kondisi ekonomi dan kerasnya kehidupan terminal akan membuat mereka semakin terhimpit dan yang paling dekat, dapat menimbulkan tindak kriminal. Bagaimana dengan komuter yang hampir setiap hari datang ke tempat ini. Penatnya urusan kantor ditambah dengan kondisi perjalanan menuju kantor  yang tidak menyenangkan akan dapat menimbulkan stres.

Pembangunan Kota Depok sebagai kota satelit yang sangat meningkat dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan, jalan raya dan perumahan, saya harap bisa diiringi dengan meningkatnya fasilitas publik yang sangat krusial seperti terminal ini. Jika memang terlalu berat untuk merubah semua kondisi terminal, pihak yang bertanggung jawab setidaknya sedikit demi sedikit membenahi kondisi ini agar tidak menjadi lebih parah. Pengaturan sirkulasi angkutan umum, dimana tempat ngetem dan dimana tempat sirkulasi. Penataan pedagang kali lima, agar tidak memakan tempat sirkulasi angkutan umum. Kebersihan terminal mulai dari pengadaan tempat sampah di beberapa titik strategis dan mencolok agar mudah dikenali, kebersihan para pedagang yang berjualan dan yang tak kalah penting, penyediaan toilet yang layak bagi para pengemudi agar mereka tak lagi membuang air kecil sembarangan. Kalau perlu untuk menggunakan WC umum digratiskan saja agar tak memberatkan para penggunanya. Perbaikan jalan dan pengaturan pedagang yang berada di jalur menuju stasiun. Deretan toko-toko ini merupakan simbiosis mutualisme antara pedagang dan orang yang bersikulasi di tempat ini. Menurut saya, toko-toko ini adalah tempat cuci mata para pengguna terminal, setidaknya mereka tidak merasakan betapa jauh dan panjangnya jalan menuju stasiun. Di satu sisi kesempatan ini diambil oleh para pedagang yang ingin berjualan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ya, menyenangkan, jadi mengaburkan ukuran ruang yang sebenarnya.

Sebagai mahasiswa arsitektur, mungkin hanya itu solusi kecil yang bisa ditawarkan, tentunya, diharapkan perubahan kualitas ruang dari terminal bisa juga merubah pola kebiasaan para penggunanya.  Saya masih ingat betul obrolan saya dengan ibu saya ketika sedang berada di samping ITC yang berhadapan langsung dengan terminal “Lihat tuh vi, WC terbesar se Kota Depok”. Saya hanya bisa tertawa kecil dan berpikir, terminal sebenarnya  menyimpan potensi besar dan lika-liku kehidupan urban yang menarik untuk dipelajari . Harapan saya, suatu saat, Terminal Depok bisa sebagus rancangan proyek urban yang ada di studio-studio arsitektur. Semoga saja.

26
Oct
10

Ruang Publik dalam Lingkungan Kota

Jika melihat kota besar di Indonesia seperti Jakarta, tentunya pemandangan yang paling sering terlihat setiap hari adalah banyaknya kendaraan-kendaraan pribadi yang memenuhi jalan-jalan besar. Secara umum penduduk Jakarta harus menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai tempat tujuan mereka, walaupun sebagian ada yang menggunakan transportasi publik. Saya melihat bahwa hal tersebut merupakan akibat dari tatanan kota yang terdapat di Jakarta.

Pada awal mata kuliah Peracangan Arsitektur 3 telah dijelaskan mengenai apa itu kota. Kota merupakan sebuah daerah yang berisi sekumpulan orang-orang yang saling berinteraksi dalam menjalani kehidupan. Dengan kata lain, ada sebuah kehidupan komunitas yang terjadi di dalam sebuah kota. Kota yang baik harusnya merupakan kota yang dapat memenuhi kehidupan orang yang tinggal di dalamnya. Dijelaskan pula bahwa kota itu bisa menjadi tempat bertinggal, berkarya, dan berkota. Yang dimaksud dengan berkota adalah tempat orang untuk saling bertemu dan berinteraksi bersama di dalam sebuah ruang publik.Jika dikaitkan dengan ketiga fungsi kota tersebut, Jakarta memiliki kekurangan satu fungsi, yaitu sebagai tempat berkota. Saya melihat bahwa secara umum memang sangat sedikit ruang publik yang benar-benar difungsikan untuk tempat berinteraksi satu sama lain. Tempat yang dimaksud bisa berupa tempat yang terbuka seperti taman, trotoar untuk berjalan kaki sekaligus menikmati kota, tempat duduk di tepi-tepi jalan, dan sebagainya. Ya, di Jakarta memang terdapat trotoar, tetapi ketika saya mencoba melewatinya, saya sama sekali tidak bisa merasakan apa yang disebut ‘berkota’. Tidak ada interaksi yang tejadi di sana, bahkan ketika saya berjalan bersama dengan teman saya, hanya sekedar obrolan kecil. Bahkan saya harus hati-hati dengan kendaraan di sekitar yang lewat. Saya tidak merasa menikmati kota ketika berjalan di trotoar. Taman kota pun sepertinya tidak difungsikan secara maksimal dan jumlahnya masih sangat sedikit dibanding dengan jalan-jalan besar.

Mungkin memang sulit mengubah kota Jakarta yang memang sudah terlanjut tertata seperti ini. Seperti yang dijelaskan dalam kuliah mengenai kota tersebut, Jakarta memang ditujukan untuk ‘mencari uang’, bukan ‘menikmati hidup’, sehingga apa yang umumnya terlihat sekarang hanyalah kesibukan untuk bekerja tanpa terlalu memikirkan bagaimana berinteraksi dengan sesama penduduk kota dengan memfungsikan ruang publik secara optimal.

21
Oct
10

suka kah angin….

singing ringing tree

Apa yang ada di sekitar kita? Mungkin bisa apa saja. Udara yang mengalir, apakah ini namanya angin?
Angin yang terus ada atau kah malah jarang ada, sebenarnya seperti apa tindak yang telah kita lakukan terhadapnya.
Panopticons, sebuah proyek di Inggris, yakni membuat empat buah benda yang dapat disebut ‘sculpture’ sebagai landmark yang akan memberikan pemandangan panoramik yang besar pada area mereka berada.
Singing ringing tree merupakan salah satu panopticon yang berada di Burnley, tepatnya pada Lancashire.
Kawasan ini merupakan padang rumput yang sangat luas dan kosong, terletak di pinggiran kota Burnley. Yang menarik ialah daerah ini jarang didatangi oleh penduduk. Mengapa?
Lahan rumput yang membentang luas memberikan keadaan angin yang berintensitas besar dan tinggi. Angin yang sangat kencang dan berlangsung terus-menerus menyebabkan jarangnya orang datang ke Lancashire karena fenomena angin ini cukup mengganggu yang membuat orang akan merasakan angin menekan dirinya terus dan suaranya yang bising.
Arsitek Tonkin Liu memiliki pendapat berbeda. Mereka melihat bagaimana keadaan angin ini menjadi sesuatu yang potensial dan seharusnya fenomena alam dapat menjadi hal yang positif bagi manusia. Arsitek ingin membuat intensitas dan kecepatan angin yang terjadi ini menjadi sesuatu yang positif sehingga nantinya penduduk akan jadi menikmati, merasakan, dan mengalami fenomena angin yang hebat ini di mana akhirnya daerah ini menjadi perhatian dan didatangi penduduk sebagai bagian dari keseharian hidup mereka. Sungguh suatu pemikiran yang luar biasa.
Arsitek membuat sebuah ‘sculpture’ yang akan dapat menghasilkan bunyi dengan susunan irama yang harmonis dengan angin yang ada. Dari bentuk pohon yang tinggi ke atas, maka dibuatlah bentuk struktur dengan pipa-pipa yang naik ke atas hingga 4 meter, dan semakin ke atas maka semakin luas permukaan yang dibentuk pipa. Pipa inilah yang dimanfaatkan seperti flute. dengan satu alas pipa yang terbuka lalu adanya celah tipis yang berbeda-beda dan sesuai panjang pipa yang ada. Inilah yang memberikan kesempatan ketika angin melalui pipa-pipa tersebut, maka akan terjadilah bunyi yang keras dan berubah-ubah.
Ketika benda ini terbangun dapat dirasakan dari saat melihatnya dari jauh bagaimana tampak sebuah struktur hebat yang besar berdiri di tengah padang rumput yang tidak terdapat bangunan apa pun. Lalu ketika mulai mendekat, mulailah terdengar suara yang berirama yang berubah-ubah sesuai arah datang dan kecepatan yang diberikan angin.
Namun di sinilah yang membuat fenomena baru ini menarik. Orang yang datang merasakan benda tersebut, ada yang mengatakan “Ini fantastis, merupakan sebuah icon daerah ini.” Lalu ada juga yang mengatakan, “Sebuah susunan struktur yang luar biasa!” Ada lagi yang lain, “Ini seperti sebuah simbol dari generasi yang baru.”
Yang menjadi pertanyaan ialah apakah sebenarnya yang dirasakan penduduk sebenarnya sama dengan apa yang diharapkan arsitek? Melihat bagaimana tanggapan yang diberikan penduduk, tampak respon mereka yang menekankan akan suatu benda yang luar biasa telrihatnya dari strukturnya yang membesar ke atas, ukurannya yang tinggi besar, dan keberadaannya di tengah padang rumput. Bukankan seharusnya arsitek ingin bahwa ini menjadi sesuatu yang akan mengubah perasaan mereka terhadap daerah Lancashire, dari yang penuh angin mengganggu menjadi angin yang dapat dinikmati.
Semua ini relatif memang. Ada lagi contoh orang Bolton yang datang, lalu menceritakan pengalamannya, “Awal saya datang ke sini, saya mulai mendengar suara seperti pesawat jet. Lalu saya mendekat, suara ini menjadi seperti putaran angin tornado. Semakin lama suara ini menjadi mengerikan, memang seperti ada irama namun semakin membingungkan rasanya. Mungkin seperti sebuah film horor.”
Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana suara dengan tempo naik turun yang seharusnya dinikmati dapat menjadi anggapan yang mengganggu dan membingungkan.
Ini mungkin hanya sekedar kontradiksi singkat yang subjektif. Namun sebenarnya yang ingin dilontarkan ialah ketika memang sebuah daerah berangin ni menjadi sesuatu yang terlupakan yang dimaknai dengan jarangnya penduduk yang datang ke sini, apakah memang karena angin itu yang menjadi faktor dominan? Atau sebenarnya ada kekosongan mungkin kehampaan yang dirasakan penduduk di Lancashire? Mengubah pengalaman angin merupakan ide luar biasa, tetapi perasaan, pengalaman yang dimiliki arsitek, orang awam, ahli bidang lain, dan penduduk dapat dikatakan berbeda. Yang menjadi terlupakan bagi penduduk pada daerah Lancashire mungkin bukanlah anggapan negatif keadaan anginnya, mungkin ada yang hal lain yang lebih melibatkan aktivitas penduduk. Namun sebaliknya, bisa juga memang anggapan angin ini memang yang menjadi terabaikan sesuai pemikiran arsitek, hanya saja mungkin penduduk memiliki hasrat lain terhadap angin yang sebenarnya ingin dilakukan tapi masih tak disadari.
Jadi apakah angin yang selama ini kita rasakan? Bagaimana kita melakukan tindak terhadapnya? Atau, sebenarnya kita pernah sadar akan keberadaannya yang biasa saja atau mungkin hanya sedikit?

28
Jan
09

Ruang Publik Sebagai Ruang Berkreativitas, Order or Disorder?

Tidak sedikit kita temui dinding-dinding di pinggir jalan yang berhiaskan gambar-gambar yang sering disebut grafiti. Apa yang sebenarnya menjadikan mereka melukiskan gambra-gambar tersebut pada sebuah dinding yang notabennya adalah miliki publik?untuk siapa sebenarnya mereka melakukan itu, untuk kepuasan dirikah atau untuk kepuasan publik itu sendiri atau adanya kesempatan bagi mereka untuk menggunakan ruang publik tersebut sebagai media kreativitasnya?bisakah disini saya katakan bahwa secara tidak langsung ruang-ruang yang terbentuk beserta elemennya di lingkungan publik dapat menciptakan suatu peluang atau kesempatan bagi publik untuk menggunakan di luar dari yang seharusnya?dan dapatkah dikatakan bahwa disini bahwa keberadaan grafiti tersebut adalah bentuk partisipasi masyarakat terhadap ruang publik yang justru dengan adanya partisipasi tersebut malah menjadikan ruang publik difungsikan diluar dari fungsinya karena mereka melihat adanya kesempatan yang memungkinkan mereka untuk menuangkan kreativitasnya di situ.

Namun keberadaan grafiti tersebut bisa mengundang mata publik yang melintas di depannya dan membuat mereka menjadi tertarik dan mungkin menjadi tidak bosan jika sedang melewatinya. Sehingga disini bisa kita lihat mungkin sebelum keberadaan grafiti tersebut ruang publik tersebut tidak mengundang perhatian publik tetapi setelah keberadaan grafiti yang disini saya katakan sebagai bagian dari partisipasi masyarakat terhadap ruang publik, mereka menjadi terlihat lebih hidup dan bahkan tidak membosankan. Publik disini juga dapat dikatakan sebagai penghidup dari desain ruang publik yang ada, mereka membubuhi sesuatu didalamnya. Ketika saya melewati salah satu jalan di kota Bandung, saya justru melihat dinding di sepanjang jalan dipenuhi dengan gambar-gambar serupa dengan grafiti, kemudian saya berpikir mengapa justru mereka “sangat” dibolehkan untuk menggunakan milik publik sebagai ajang menuangkan kreativitas mereka, berarti disini bentuk grafiti itu adalah disorderkah atau bukan?

Memang jika kita lihat grafiti tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk disorder, tetapi salahkah jika ternyata hasil dari bentuk disorder tersebut malah menjadikan sesuatu lebih terlihat menarik? karena sesuatu yang disorder terkadang sering diidentikkan dengan sesuatu yang salah, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Bagaimana jika sesuatu yang kita pikir sebagai bentuk disorder kita jadikan order?yang salah satu caranya adalah seperti pada contoh kasus yang saya temui di sepanjang jalan di daerah bandung dimana mereka justru membuat dinding-dinding yang ada disepanjang jalan menjadi lebih menarik dengan keberadaan grafiti. Menambahkan sesuatu pada bagian ruang publik yang justru memberikan sesuatu yang lebih terhadap ruang publik tersebut.

10
Nov
08

UI Depok: Ruang Potensial untuk Keseharian

Potential sites for an architecture of the everyday begin with the body. Secretive and intimate, it is marked by the routine, the repetitive, and cyclical… [Everyday Architecture, Steven Harris]

Ketika kita membutuhkan sebuah space untuk melakukan suatu aktivitas, maka kita akan membuat place untuk mengakomodir kebutuhan tersebut. Sehingga muncul banyak place untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Namun sering kali pendefinisian terhadap ruang tersebut berbeda-beda. Trotoar tidak lagi hanya menjadi tempat berjalan kaki, jalan tidak lagi hanya sebagai akses dari sini ke sana. Adanya pendefinisian yang berbeda-beda membuat fungsi sebuah ruang berubah atau justru sebenarnya berkembang. Adanya potensi pada ruang yang ada membuat ruang tersebut tidak hanya digunakan sebagaimana mestinya atau sebagaimana ia diperuntukkan.

Saya mengambil contoh kasus yang sering kali saya lihat, yaitu di Universitas Indonesia, Depok. UI Depok merupakan sebuah intstitusi pendidikan yang berada di lahan yang sangat besar. Lahan yang tidak hanya berupa bangunan-bangunan tapi juga didominasi oleh area terbuka dan area hijau. Sebuah place yang idealnya hanya sebagai kawasan pendidikan. Place yang didalamnya terdapat ruang-ruang yang mengakomodir segala aktivitas pendidikan. Namun sering kita lihat kawasan UI justru digunakan oleh masyarakat sekitar untuk aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan pendidikan. Jalan-jalan di UI sering kali digunakan sebagai akses atau ‘jalan pintas’ untuk menuju pemukiman disekitar UI. Sering juga kita lihat masyarakat sekitar berpacaran, memancing, atau remaja yang sekedar kumpul-kumpul di jalan pinggir danau. Bahkan tak jarang pemuda-pemuda yang melakukan atraksi motor di jalan UI yang sepi. Apalagi ketika hari sabtu dan minggu, kawasan UI seolah menjadi tempat rekreasi dan semua orang seolah ‘tumpah’ ke kawasan ini. Aktivitas tersebut menjadi sesuatu yang rutin dilakukan oleh masyarakat disekitar UI. Sehingga segala aktivitas tersebut merupakan pemandangan biasa di kawasan ini.

Saya melihat bahwa masyarakat sekitar tersebut melihat potensi di kawasan UI. Potensi yang dapat mereka gunakan bersama-sama dan akhirnya menjadi kawasan yang erat dan akrab dengan keseharian mereka. Ada intervensi dari masyarakat terhadap ruang yang sebenarnya merupakan kawasan pendidikan ini. Lalu apakah intervensi tersebut mengganggu penggunakan kawasan ini sebagai institusi pendidikan? Atau justru arsitektur yang dibuat di kawasan ini memang tidak hanya diperuntukkan sebagai sarana pendidikan saja? Sehingga everyday life (diluar pendidikan) dapat dengan mudah mengintervensi ruang-ruang di kawasan ini.

03
Nov
08

Which Disorder Is Disorder?

Setiap tempat dalam ruang keseharian pasti memiliki suatu order, di mana keberadaan order ini berusaha meregulasi setiap orang yang berkegiatan di dalamnya, agar bertingkah laku sesuai keadaan ideal menurut order tersebut. Namun tidak jarang dalam ruang keseharian tersebut, orang-orang tidak mengidentifikasi order yang ada seperti seharusnya, sehingga tingkah laku yang muncul kemudian tidak lagi sesuai order tersebut, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan dari orang-orang tersebut dan berbagai kemungkinan yang ditawarkan ruang tersebut atas suatu aktivitas. Hasil dari kejadian ini adalah order yang ada tidak lagi dijalani, dan lalu muncullah apa yang disebut disorder.

Implikasi dari hal ini dapat kita lihat pada berbagai ruang publik yang ada di ruang kota, terutama Jakarta ; jalan raya, pedestrian, jalan pemukiman, stasiun kereta api, dan lain-lain.

Misalnya pada pedestrian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak ruang pedestrian di Jakarta, yang seharusnya ditujukan untuk ruang bagi pejalan kaki, dimanfaatkan sebagai ruang berjualan oleh pedagang kaki lima, pemilik kios pinggir jalan, atau pedagang eceran. Ini mereka lakukan karena melihat kesempatan di mana pinggiran jalan adalah ruang yang ideal untuk menampilkan dagangan mereka, karena pasti jalan ramai dilalui orang. Dalam hal ini telah terjadi penyimpangan penggunaan ruang dari fungsi yang seharusnya, yang berarti ada suatu disorder.

Tapi kemudian benarkah disorder ini kemudian menjadi sesuatu yang mengganggu dalam ruang tersebut?

Dari sini timbul suatu pertanyaan akan kutipan dari Kelling dan Coles dalam buku Fixing Broken Windows : Restoring Order and Reducing Crime in Our Community sebagai berikut :

“Disorder is incivility, boorish, and threatening behavior that disturb life, especially urban life.”

(Kelling and Coles, 1996, p14).

Keberadaan para pelaku disorder ini memang biasanya memakan sebagian besar ruang pedestrian. Tapi kemudian dalam keseharian tidak ada pengguna pedestrian yang merasa sedemikian terusiknya sehingga menganggap bahwa para pelaku disorder tersebut tidak seharusnya berkegiatan di situ. Bahkan akhirnya keberadaan disorder tersebut menjadi sesuatu yang dimaklumi hingga dianggap menjadi sesuatu yang ’sudah sewajarnya’ di situ. Berarti dalam hal ini disorder tersebut bukan lagi dianggap sesuatu yang tidak sesuai. Disorder di sini kemudian menjadi sesuatu yang ’order’ bagi pihak-pihak tertentu. Disorder juga dianggap tidak lagi mengganggu, bahkan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Misalnya pada pedestrian di suatu jalan, keberadaan para pedagang kaki lima dan kios-kios pada malam hari membuat pedestrian tersebut tidak ’mati’, ramai, dan terang. Hal ini membuat area sekitar pedagang tersebut relatif lebih aman bagi orang-orang yang berjalan di sekitar situ dengan keberadaan para pedagang yang sekaligus mengawasi keadaan sekitarnya, dibandingkan pedestrian jalan yang steril dari pedagang kaki lima dan kios pinggir jalan, yang lebih mendukung sebagai tempat melakukan tindak kriminalitas.

Hal tersebut juga menjadi pertimbangan lebih lanjut akan kutipan lain dalam buku yang sama :

”Small disorder leads to larger and larger ones and perhaps even crime.”

(Kelling and Coles, 1996, p xv).

Satu disorder mungkin memang akan menjadi pemicu terjadinya disorder lain. Dalam kasus pedestrian di atas, keberadaan pedagang yang mengkonsumsi sebagian besar ruang menyebabkan pejalan kaki terkadang tidak lagi berjalan di pedestrian, melainkan di badan jalan raya, yang merupakan disorder juga. Namun keberadaan para pedagang tersebut juga menjadi penyebab kriminalitas kecil kemungkinnya terjadi di sekitar tempat tersebut, yang berarti keberadaan disorder tersebut justru mencegah terjadinya disorder (lain), yaitu tindak kriminal.

Jadi apakah akhirnya suatu disorder lebih baik dari disorder lain? Which disorder is more disorder?

03
Nov
08

The Consumption of Public Space

Ruang publik sebagaimana yang kita ketahui adalah ruang yang dimiliki dan difungsikan secara bersama. Lalu dengan demikian apakah berarti penggunaan atau pengkonsumsian ruang publik masing-masing orang akan menjadi sama? apakah ruang publik tersebut menjadi terbatasi penggunaannya mengikuti sebagaimana yang seharusnya? Ya mungkin sebagian orang menganggap mereka harus menggunakan ruang publik tersebut sesuai dengan aturannya, tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal inilah yang akan saya bahas yakni mengenai bagaimana setiap orang memandang ruang publik dari sudut pandangnya masing-masing sehingga muncul penggunaan yang bervariasi terhadap ruang publik diluar dari yang sudah ditentukan.

Jika kita dapat lebih peka lagi terhadap apa yang hadir di ruang publik, bagaimana mereka hadir di dalamnya, elemen apa saja yang ada di ruang tersebut, maka akan ada banyak kemungkinan penggunaan dari elemen-elemen yang ada di ruang publik tersebut. Seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya bahwa setiap orang memiliki sudut pandangnya sendiri terhadap ruang publik. Penggunaan ruang publik misalnya trotoar, antara pedestrian dan pedagang kaki lima mungkin akan menjadi berbeda, mereka akan menyesuaikan penggunaan ruang tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka. Pedagang kaki lima mungkin akan melihat potensi trotoar tersebut sebagai tempat mereka berjualan, dimana mereka akan langsung berhadapan dengan pedestrian yang menjadi target mereka berjualan, tetapi bagi pedestrian mereka melihat trotoar tersebut sebagai tempat mereka berjalan, akses mereka untuk terhubung dengan tempat yang lain.

Terkait dengan hal sebelumnya, saya mencoba untuk mengaitkan dengan penggunaan trotoar di jalan Basuki Rahmad, Kp.melayu. Pada trotoar jalan di atas sungai ciliwung, dimana di bagian bawah jalannya tinggal beberapa komunitas pemulung penghuni kolong jembatan. Pemulung-pemulung ini terlihat memarkirkan gerobaknya di sepanjang trotoar. Bahkan terlihat beberapa gerobak yang di rantai mengikat ke pagar jembatan trotoar. Apa yang didapat dengan melihat kondisi yang demikian? para pemulung tersebut mengkonsumsi trotoar tersebut bukan sebagai sebuah tempat pedestrian tetapi tempat mereka menaruh gerobaknya, mereka melihat adanya the others dari trotoar tersebut, mereka mengkonsumsi trotoar tersebut bukan yang seharusnya trotoar tersebut diperuntukkan. Mereka melihat adanya suatu potensi dari pagar pembatas, bagaimana bentuk dari pagar tersebut sehingga mereka bisa merantaikan gerobak mereka. Ada suatu kepraktisan yang muncul, melihat mereka yang tinggal di kolong jembatan, akan sulit bagi mereka untuk membawa gerobak mereka bolak balik ke atas (jalan).

Jadi dalam melihat suatu hal, kita sebaiknya tidak melihat hal itu sebagaimana mereka hadir. Kita perlu melihat dan mencari sesuatu yang berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya.

02
Nov
08

Melihat Ruang Publik

‘Idealisme Vs Domesticity Vs Egoisme dalam Everydayness

Idealisme memiliki kata dasar ideal. Ideal = a person or thing conceived as embodying such a conception or conforming to such a standard, and taken as a model for imitation (dictionary.com). Ideal adalah suatu konsepsi akan sebuah kesempurnaan dengan standar tersendiri yang menjadi model. Hal ini dipertentangkan oleh domesticity karena hal yang orang umum anggap ideal belum tentu tepat bagi dia. Idealisme dan domesticity menurut saya keduanya berada pada zona abu-abu, kita tidak bisa memisahkannya secara mutlak. Domesticity adalah ideal, ideal juga bisa menjadi domesticity. Ideal itu baik namun domesticity menyempurnakannya, tapi kedua-duanya bagi saya tidak dapat berdiri sendiri karena konsep ideal sifatnya lebih publik, dengan standar-standar publik namun domesticity lebih personal dan bisa diterima.

Idealisme dan domesticity keduanya adalah hal yang bersifat subjektivitas atau berdasarkan pada diri sendiri. Kedua hal ini hanya dapat dinilai dan dirasakan oleh diri sendiri, karena itu selalu ada perbedaan penilian pada tiap individu mengenai hal ini.

Subjektivitas berhubungan sangat dekat dengan egoisme, [ego=self]. Setiap orang berhak mendapatkan apa yang ia inginkan atau setiap orang berhak bersifat egois, karena itu selalu ada usaha untuk mendapatkannya. Usaha yang dimaksud dapat berupa domesticity, usaha mengubah ruang ideal yang secara subjektif tidak ’dia banget’ menjadi ruang yang ’dia banget’.

Lalu bagaimana ketika ke-egois-an itu dibawa pada ruang publik yang dimana hal yang sifatnya subjektif harus dipertemukan dengan orang lain. Ketika nilai-nilai ini tidaklah sama munculah konflik, konflik antar nilai-nilai yang bersifat subjektivitas. Nilai mana yang harus dipertahankan dan nilai mana yang harus dilepaskan.

The everyday is a product, the most general of product in an era where. Production engenders consumption and where consumption is manipulated by producers: not by workers but by manager and owners of the means of production (intellectual, instrumental, scientific). The everyday is therefore the most universal and the most unique condition, the most social and the most individuated, the most obvious and the best hidden. A condition stipulated for legibility of form, ordained by means functions inscribed within structures, he everyday constitutes the platform upon which the bureaucratic society of controlled consumerism is erected. (Lefebvre, 1997)

Lefebvre menyatakan bahwa everyday memiliki dua sisi, sisi pertama adalah sisi yang sangat umum dan bisa diterima oleh semua orang, sisi kedua adalah sisi yang sangat personal yang hanya bisa diterima oleh pembuatnya. Maka pada sisi yang mana ruang publik harus menentukan sisinya?

Secara mudah kita akan menyatakan idealisme ruang publik harus bersifat umum dan bisa diterima oleh semua orang. Namun ketika kita mengkaji kembali kenyataanya, dapatkah hal yang bersifat umum itu bisa selalu diterima oleh penggunanya? Selalu ada pilihan. Hal yang bersifat umum memunculkan seleksi dari hal-hal personal [domesticity]. Hal-hal personal yang sama dimunculkan agar pemaknaan ruang itu dapat dimakanai sama oleh tiap penggunanya. Namun ada suatu masa dimana egoisme itu tidak selalu sama dengan ke-umum-an itu, pengguna harus memilih. Memilih dimana ia harus berada pada ruang itu, ia akan memilih dimana ia akan merasa paling cocok atau ia akan memilih untuk menintervensi ruang itu. Sehingga muncul pertanyaan apakah ruang publik yang baik hanya dapat mencakup sisi umum saja?

Egoisme dan domesticity selalu muncul walaupun itu dalam ruang publik. Saya mengambil contoh taman, pada taman ada banyak bangku namun kita hanya memilih satu bangku untuk kita duduki, atau kita membuat sedemikian rupa agar bangku itu tepat untuk kita duduki. Jadi ruang publik yang baik adalah ruang yang bersifat umum dan dapat dimaknai bersama oleh tiap penggunanya sehingga tidak terjadi kesalahan pemaknaan, namun ruang publik itu tetap dapat memberi kesempatan pada para penggunanya untuk memunculkan ke-egois-annya. Arsitektur tidak hanya harus mampu melihat hal umum namun ia juga harus mampu melihat hal-hal personal. Ia pun harus mampu melihat hal ideal bukan dari ke-subjektif-annya namun dari ke-subjektif-an penggunanya.

02
Nov
08

Publicity in Personal Life

TURN ON YOUR TV !!!

Do you ever watch TV programme such as ‘ mata-mata ‘ on RCTI where you can see someone spying his / her friend activity?

Do you ever watch TV programme such as ‘ playboy kabel ‘ on SCTV where you can see a girl who want to know if her  boyfriend is really faithfull to her?

Do you ever watch TV programme such as ‘ penghuni terakhir ‘ on AnTeve where you can see a bunch of people from many different area live together in the same house, try to survive in the house, and the last survivor will be the owner of the house?

Those are some examples of our TV programme. The Media Industry tougth ‘what else’ they can sell to people ?. They see the opportunity to sell someone’s personal life as an entertainment to people.

Now, personal life is not privat anymore. personal life is not something that you can keep by your self and by your close relatives such as your family or your best friend. Now, personal life is public. Everyone who watch those TV programme can see someone’s personal life.

There are some psychological effect for someone who participate in the TV programme and for someone who watch those TV programme. The psychological effect for someone who partcipate in the TV programme will be felt during the participation and after the publishment of those TV programme.

During the participation, someone feel worry, anxious, and tired because he / she must accomplish his / hes goal.

After the publishment, someone will feel unsecure and embarass because everybody knows about his / her personal life. There will be negative opinion from his / her surroundings.

The psychological effect for someone who watch those TV programme is see bad attitude like anger and yelling from one person to the other person.

SO BE CAREFUL TO WATCH TV PROGRAMME WHICH PUBLISH PERSONAL LIFE!




This is a blog for any ideas, thoughts, questions and anything else related to architecture and everyday. Writings in this blog were submitted by students of "Architecture & Everyday" class at the University of Indonesia, as our attempts of reading and re-reading of our everyday and our architecture