26
Oct
10

Selasar dan Mahasiswa Arsitektur

Gedung Departemen Arsitektur Universitas Indonesia memiliki selasar yang mengitari bangunannya. Selasar yang sebenarnya adalah ruang untuk sirkulasi barang dan manusia sering mengalami reproduksi ruang. Selasar di sana sering dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul dan bersosialisasi para mahasiswanya, terutama di luar jam-jam kuliah. Para mahasiswa sering berkumpul untuk mengerjakan tugas bersama, berdiskusi, pertemuan dan rapat organisasi atau kepanitiaan, maupun sekadar duduk berbincang-bincang.

Terlihat sebuah fenomena yang menyimpang dari peruntukan ruang sebenarnya. Selasar tereproduksi menjadi ruang yang lebih aktif dan hidup. Selasar, yang esensinya merupakan ruang sirkulasi dengan laju mobilitas pengguna yang tinggi berubah menjadi titik pause dengan aktivitas menetap. Apalagi dengan hadirnya mading di sepanjang sisi selasar yang turut menahan laju pergerakan manusia di selasar.

Lalu apa yang salah? Menurut saya tidak ada. Ruang bertumbuh seiring dengan kebutuhan pengguna, ruang yang baik justru ruang yang fleksibel dan memiliki affordance yang tinggi. Di sinilah timbul sense of belonging dan sense of awareness terhadap ruang publik, dan secara tidak langsung pengguna ikut menjaga keberadaannya. Warga, terutama mahasiswa memiliki kebutuhan ruang untuk berinteraksi dan bersosialisasi, yang didapatkan di selasar kami, SelasArs (Selasar Arsitektur). Terkadang, selasar juga dimanfaatkan untuk kegiatan perkuliahan, misalnya pameran dan presentasi tugas kuliah, sehingga terlihat bahwa pihak pengampu pun turut mengambil manfaat dari pengalihfungsian ruang selasar ini.

Memang ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan karena pemanfaatan selasar sebagai ruang berkumpul, terhambatnya laju sirkulasi pada selasar. Terkadang mahasiswa lain terpaksa memutar arah lewat jalur lain untuk menghindari titik keramaian berkumpul. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi masalah karena selama ini semua berjalan dengan lancar. Lagipula kegiatan berkumpul di selasar lebih sering terjadi pada jam-jam luar kuliah dan aktivitas pengguna sirkulasi tidak terlalu ramai. Selain itu, secara tidak langsung terjadi kontrol sosial bagi para pengguna selasar.

Jadi, selasar tidak hanya berfungsi sebagai ruang sirkulasi, tetapi juga dapat menjadi ruang perhentian dan aktivitas menetap. Justru melalui fungsi sekunder inilah selasar lebih terasa manfaatnya bagi para penggunanya. Bukan desain yang mengatur pola perilaku penggunanya, tetapi pengguna yang mendefinisikan fungsi ruang tersebut saat dipakai. Sebuah perancangan yang hidup dan fleksibel. Selasar yang menjadi saksi bisu keseharian aktivitas mahasiswa, wadah interaksi dan sosialsisasi yang efektif, itulah Selasars, Selasar Arsitektur FTUI.


6 Responses to “Selasar dan Mahasiswa Arsitektur”


  1. 1 adealline
    October 26, 2010 at 9:21 pm

    sebenarnya lokasi selasar arsitektur/departemen juga mempengaruhi hal diatas. seperti yang kita ketahui bahwa departemen arsitektur berada dalam posisi yang cukup strategis yakni akses menuju kantin teknik, engineering center, lapangan teknik, dan lobby.. oleh karena itu selasar arsitektur sangat ramai dilewati dan seolah-olah menggangu sirkulasi.. seandainya saja lokasi departemen arsitektur tidak berada dalam lokasi se-strategis ini, belum tentu kegiatan mahasiswa di selasar dianggap menggangu sirkulasi..
    saya sangat setuju jika pengguna selasar memang akan mendefinisikan ruang sirkulasi tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka, mungkin karena fasilitas untuk ‘ruang berkumpul setelah jam kuliah’ memang tidak disediakan di fakultas teknik..

  2. October 26, 2010 at 9:38 pm

    Saya setuju bahwa selasar bukan saja tempat untuk sirkulasi melainkan juga untuk tempat bersoialisasi para mahasiswa. Jujur saja, pemindahan tempat duduk di samping ruang TU membuat saya sedikit kehilangan suasana selasar terdahulu.
    Hal ini juga sempat didiskusikan saat saya dan teman-teman sedang berdiskusi tentang bacaan The Death and The Life of Great American cities, di sana Jane Jacob mengatakan bahwa jalanan merupakan pusat interaksi sosial bagi warga yang tinggal di sekitarnya. Konsentrasi pada satu titik yang tercipta akibat kerumunan orang justru menurut Jane Jacob justru baik.
    Jika meliha kembali permasalahan selasar, memang benar jika memang kondisi selasar dikembalikan ke kondisi semula, diperlukan kontrol sosial dari individu-individu yang menggunakan selasar untuk tidak memblok satu area selasar sehingga fungsi selasar sebagai ruang sirkulasi menjadi terganggu. Dengan mengembalikan selasar ke kondisi semula mungkin dapat mengembalikan selasar ke suasana terdahulu dimana kita (warga arsitektur) dapat bersosialisasi di sana.

  3. October 26, 2010 at 9:56 pm

    Selain karena strategis, reproduksi selasars juga saya rasa karena adanya kebutuhan-kebutuhan ruang yang belum terpenuhi dan selasars dirasa oleh penggunanya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, seperti ruang rapat bagi para mahasiswanya yang belum difasilitasi di departemen. Kalaupun ada, ruang rapat di ruang IMA terletak terlalu jauh dari jurusan. Pemilihan selasars saya rasa juga dipengaruhi oleh adanya rasa kepemilikan dan homy yang tidak dimiliki di tempat lain seperti ruang IMA yang berada di pusgiwa teknik.

  4. 4 mirzadelya
    October 27, 2010 at 12:49 am

    Secara logika “jalanan” memang akan menjadi tempat kumpul. Karena jalanan itu sendiri seolah seperti intersection antara area satu dengan area lainnya. Fenomena yang cukup sering terjadi misalnya antara pembantu rumah saya dengan pembantu rumah tetangga, mereka bertemu dimana? Mereka bertemu di jalanan depan rumah. Bertemu dengan satpam yang berpatroli pun di jalan tersebut. Lalu kemudian mengobrollah mereka bertiga. Saya pun bertemu dengan teman di kelas sebelah di koridor/selasarnya. Pada akhirnya memang di jalananlah lokasi pertama terbentuknya titik kerumunan dan sosialisasi antar manusia. Hanya saja apakah kerumunan itu dapat mengganggu fungsi utama ruang atau tidak? Untuk menjawab hal itu tentu pendapat setiap orang akan berbeda.

  5. 5 catherineviriya
    October 27, 2010 at 4:12 am

    Menurut saya, jika aktivitas berkumpul kita di selasar dianggap mengganggu sirkulasi pengguna lainnya, mungkin ada baiknya dilakukan pengaturan ulang terhadap peletakan elemen-elemen di selasar tersebut. Contohnya sebelumnya kursi-kursi kayu yang ada di selasar membuat kita sering duduk-duduk dan berkumpul di situ, namun sejak kursi kayu itu digeser ke samping selasar, kita cenderung untuk berkumpul di area kursi itu, jadi jalanan selasar lebih terbuka, mungkin langkah keduanya bisa dengan memindahkan sebagian dari mading ke samping selasar itu juga, karena memang ada lemari kaca yang memadai. Mungkin dengan begitu sirkulasi di selasar akan semakin lancar dan tidak mengintervensi lalu lintas pengguna lainnya.

  6. October 27, 2010 at 4:34 am

    menurut saya tidak masalah dengan pertumbuhan ruang yang tadinya memiliki fungsi awal sebagai area sirkulasi yang kemudian berkembang dan memberi fungsi lain. Namun apabila hal itu terjadi berarti akan lebih baik jika terjadi pula perubahan mengenai elemen yang berada di ruang itu. Sehingga dapat memasilitasi si pertumbuhan ruang dan aktifitas didalamnya, seperti dengan penataan kembali interior atau elemen didalam ruang tersebut (selasar/koridor). Hal tersebut sudah mulai terasa di selasar departemen arsitektur sendiri dimanalebih terasa kelegaan disana dan adanya area/spot yang diperuntukan bagi mereka yang ingin bertemu dan berkomunikasi.


Leave a comment


This is a blog for any ideas, thoughts, questions and anything else related to architecture and everyday. Writings in this blog were submitted by students of "Architecture & Everyday" class at the University of Indonesia, as our attempts of reading and re-reading of our everyday and our architecture