Posts Tagged ‘theories

23
Dec
10

Everyday vs Every day

Ketika pertama kali mengambil mata kuliah ini,saya berpikir apa yang dimaksud dengan kata “everyday” adalah pengertian yang biasanya saya dengar yang artinya adalah “setiap hari”. Tetapi setelah belajar mata kuliah ini saya diberikan pengertian yang melebihi kata “setiap hari”. Hal yang saya lakukan untuk menambah pengetahuan yang saya miliki dari kuliah adalah dengan cara mengetik kata “everyday” dalam google untuk melihat apa kata dunia tentang “everyday”. Dari pencarian ini, terdapat beberapa file dengan judul “everyday vs every day” yang ternyata menjelaskan tentang pengertian dasar dari kedua kata tersebut.

Dari pengertian tersebut saya dapatkan bahwa kata “everyday” adalah suatu kata sifat yang artinya adalah lumrah, normal, sudah biasa terjadi sehari-hari. Contoh pemakaiannya adalah seperti ini, “These shoes are great for everyday” ; “You shouldn’t wear an everyday outfit to the wedding”. Sedangkan “every day” adalah kata keterangan waktu yang berarti setiap hari contohnya “I have to work every day this week except Friday” ; ” I go to the park every day”.

Dari contoh pemakaiaan kedua kata ini,dapat dilihat bahwa secara pengertian dasar, kata “everyday” tidak hanya memiliki pengertian yang sesederhana kata “every day”. Dari pengertian dasar tersebut dapat diterjemahkan bahwa “everyday” adalah suatu keadaan yang normal dan sudah biasa terjadi. Pengertian sudah biasa terjadi di sini bukan hanya ada setiap hari, tetapi memang terbentuk dan akhirnya membuatnya terjadi setiap hari atau bahkan tidak harus tiap hari. Menjadikan sesuatu tersebut berakar dan hidup dalam suatu lingkup tertentu. Sedangkan “every day” menjelaskan suatu keterangan yang menjelaskan suatu keadaan yang terjadi setiap hari dan akan terjadi setiap hari yang membuat seperti formalitas saja.

12
Oct
09

Could it always be called ‘everyday’?

Setelah membaca tulisan ‘ The Uses of Decoration : Essays in the Architectural Everyday, Malcolm Miles, 2000: Architectural Everydays dan Architecture of the Everyday, Steven Harris and Deborah Berke, saya menyimpulkan bahwa everyday adalah semacam kritik sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Ini terlihat dari kutipan berikutnya:

….Lefebvre regarded everyday life as a means of countering the ‘mystified consciousness’ that encoded alienation in all spheres of existence.” ( McLeod, 1997:11)

Biasanya everyday selalu menyimpang dari apa yang ada di sekitar kita seperti yang dikutip berikutnya:

Lefebvre stressed that contradiction is intrinsic to its (the everydays) very nature. While it is the object of philosophy, it is inherently nonphilosophical; while conveying an image of stability and immutability, it is transitory and uncertain;while governed by the repetitive march of linear time,it is redeemed by the renewal of nature’s cyclical time; while unbearable in its monotony, it is festive and playful; and while controlled by technocratic rationalism and capitalism, it stands outside of them.” ( McLeod, 1997:13-14)

Akan tetapi, apakah seluruh yang bersifat sumpek, kotor, merakyat, atau gerakan baru ,dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ‘everyday’? Sedangkan sesuatu yang bersih, elit, atau mewabah dianggap bukan ‘everyday’? Saya merasa tidak. Menurut saya, ‘everyday’ atau tidak, itu tergantung pada proses pemunculan atau tujuannya. Misalnya, Jember Fashion Carnaval. Mengapa itu dijadikan sebagai studi kasus? Karena, menurut saya, everyday itu tidak selalu berbentuk arsitektur. Itu bisa saja berupa  fashion, musik, perilaku, dan lainnya.

Seperti yang diketahui, Jember Fashion Carnaval (JFC) adalah karnaval fashion yang termegah di Indonesia. Ini umumnya diadakan pada bulan Agustus di Jember. Banyak tanggapan positif terhadap karnaval ini. Ada yang mengatakan kalau ini membuktikan bahwa kreativitas orang Indonesia tak kalah dengan negara lainnya seperti Brasil atau Amerika. Ini pun dianggap merakyat karena orang miskin atau nonprofessional tetap dapat menjadi peserta karnaval ini.  Bahkan ini juga berhasil mengangkat ekonomi Jember. Material yang dipakai untuk pakaian karnaval juga berupa material yang mudah diperoleh dan ada di sekitar kita.

Namun, bagi saya, karnaval ini kurang ‘everyday’. Mengapa? Setelah diselidiki ,ternyata proses pencanangan ini tidak banyak melibatkan warga Jember. Ini lebih banyak diurus oleh staf organisasi nirlaba JFC. Apalagi ini muncul dari kesadaran seseorang yaitu perekayasanya. Bukan murni kesadaran rakyat Jember. Bahkan tema dan rutenya juga ditentukan organisasi tersebut. Memang ada workshop untuk peserta karnaval. Akan tetapi, dalam workshop, mereka umumnya diberi referensi-referensi sebagai sumber insipirasi. Kebanyakan referensi itu berkaitan dengan tema karnaval yang akan diusung. Saya jadi pesimis. Seandainya organisasi JFC ini tidak ada, apakah rakyat Jember tetap akan meneruskannya? Apakah mereka sanggup? Apalagi karnaval ini biasanya didanai oleh pemerintahan kota Jember dan para donatur.

Jika masyarakat Jember dilibatkan dalam proses pencanangan seperti menentukan rute atau memutuskan tema JFC,maka tidak perlu ada workshop. Sebab mereka sadar bahwa JFC sesungguhnya adalah ekspresi kebebasan mereka. Jika itu terjadi, maka JFC dapat disebut ‘everyday’. Tidak perlu ada dana sokongannya. Sebab itu dilakukan dengan sukarela.

Bandingkan dengan Harajuku. Harajuku adalah kawasan di sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Harajuku menjadi terkenal karena ritual remaja-remaja yang berdandan aneh-aneh di sini. Ritual ini bermula ada kelompok gadis yang disebut Annon-zoku yang berdandan meniru busana yang ada di majalah Anan dan non-no pada tahun 1970-an. Lama-lama jumlah mereka bertambah banyak dan dandanannya menjadi aneh dan bebas aturan. Bahkan ini telah menjadi ritual tetap bagi remaja Tokyo. Tidak ada dana sokongan untuk memunculkan ritual ini. Ini hanyalah semcam bentuk kesadaran mereka untuk mengekspresikan diri. Tidak ada paksaan ( rekrutmen ) untuk mengikuti ini. Tidak mengherankan, ritual ini mampu bertahan sampai sekarang. Bukankah sesuatu yang ordinany umumnya bertahan lama?

Itu juga terjadi pada arsitektur di sekeliling kita. Misalnya, ada sebuah warung kecil yang seluruh material tergolong benda yang mudah diperoleh, seperti triplek dan seng bekas. Tetapi, saat dinding dicat dan diberi merek rokok yang terkenal, otomatis, warung itu bukanlah sesuatu yang ‘everyday’ karena ada unsur kapitalismenya. Atau bisa juga sebaliknya. Seperti warung yang menggunakan spanduk utuh yang bertuliskan merek minuman. Waktu ditanya, ternyata itu diambil dari tempat sampah! Atau bisa juga perumahan elit yang sering dianggap bukan ‘everyday’ ternyata memiliki ritual ‘everyday’. Contohnya perumahan Kemang Pratama di Bekasi. Para remaja di situ memiliki kebiasaan berkumpul di pinggiran sungai pada sore hari. Padahal semula itu tidak didesain untuk mewadahi kegiatan tersebut. Namun karena di situ banyak pepohonan dan teduh, akhirnya banyak remaja memilih tempat itu untuk nongkrong. Bahkan tempat itu juga sering dipakai untuk lomba-lomba atau bazaar. Di samping itu, tempat itu juga relatif bersih (sedikit sampah).

Jadi, tak semua yang kotor, sumpek, atau mengandung material yang recycle serta-merta dianggap ‘everyday’. Mestinya dianalisis dulu proses pembentukan atau tujuannya sebelum menentukan apakah itu ‘everyday’ atau bukan. Karena, menurut hemat saya, everyday adalah ungkapan atau ekspresi dari masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar terhadap lingkungan sekitarnya. Tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Ini murni kehendak mereka sendiri.




This is a blog for any ideas, thoughts, questions and anything else related to architecture and everyday. Writings in this blog were submitted by students of "Architecture & Everyday" class at the University of Indonesia, as our attempts of reading and re-reading of our everyday and our architecture