Posts Tagged ‘aesthetics

26
Dec
10

DEPAN dan BELAKANG

Jika anda melintasi jalan Warung Buncit, mungkin anda dapat melihat banyaknya bangunan komersil, baik itu bangunan perkantoran maupun toko-toko yang berjejer sebagai penanda bahwa jalan tersebut merupakan perpanjangan dari kawasan bisnis Kuningan. Ya, memang jalan tersebut ditata sedemikian rupa sehingga terlihat bangunan-bangunan tinggi cukup mendominasi di sepanjang jalannya. Banyak pohon juga menyembul dari pinggir jalan. Tak hanya itu, menurut saya, meskipun cukup padat dilalui kendaraan, jalanannya sendiri cukup lancar, rapi dan bersih. Sungguh-sungguh mencerminkan identitas kawasan tersebut sebagai area komersil.

Namun jika anda masuk ke dalam beberapa jalan kecil yang ada di sepanjang jalan Warung Buncit, mungkin anda akan menemukan perumahan masyarakat kalangan bawah, warung-warung nonpermanent, got-got yang dipenuhi dengan sampah, serta banyak lahan hijau dengan sampah-sampah dijejeri secara tersembunyi di dalamnya. Beberapa area bahkan terlihat mati, tidak terlihat aktivitas warga ataupun aktivitas penggerak ekonomi. Benar-benar berbeda dengan tampilan luar Warung Buncit yang sangat ramai dijejali kendaraan dan bangunan perkantoran.

Ketika saya mengadakan survey di area tersebut, saya menyadari adanya fenomena tersebut, dan hal seperti ini tidak hanya terjadi di kawasan Warung Buncit saja. Banyak sekali terdapat fenomena depan-belakang seperti ini di Indonesia, terutama di Kota Jakarta.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan diperhatikannya bagian depan tersebut, lantas bagian belakang tidak perlu diusahakan agar dapat turut berkontribusi dalam aktivitas kota tersebut? Lalu, bagaimana caranya untuk dapat mengaktifkan bagian belakang ini agar dapat turut berperan sebagai sesuatu yang indah?

Layaknya pepatah yang sering kita diucapkan, “Jangan melihat orang dari sampulnya, tetapi lihatlah dari isinya”. Mengapa tak kita coba lihat bagian belakang dari setiap keindahan yang diciptakan? Siapa tahu dibalik keindahan tersebut sebenarnya terdapat suatu potensi yang dapat mendukung keindahan tersebut, dan bukannya justru bertolakbelakang dengan apa yang ada di depannya.

25
Dec
10

antena oh antena

Ayo siapa yang rajin nonton tv? Pernah peduli bagaimana gambar yang mulus bisa kita nikmati?

Pertanyaan ini tiba-tiba ingin saya tanyakan saat saya melihat panorama atap-atap rumah yang sangat tidak rapi berantakan di bawah jalan layang Pasopati, Bandung . Hari itu macet melanda jalan menuju Dago, Bandung alhasil saya bosan dan terpaksa melihat kanan-kiri, dan waw “indahnya” panorama atap-atap rumah yang sudah termakan usia tersaji “cantik” di depan mata saya, saya pandangi dan tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah objek yang tertambat di tiang bambu  tinggi yang miring dan sedikit bergoyang tertiup angin (mengingatkan saya pada iklan antenna jaman dulu). Itulah antena televisi, pahlawan yang sangat berjasa dalam membuat suasana ruang keluarga makin nyaman dan hidup. Saya pun men-scanning tiap-tiap atap rumah dan saya melihat keadaan yang sangat mengharukan dan mengenaskan dari si antenna  ini. Ada yang dipasang ditiang yang berkarat, ada yang ditaruh di pinggir balkon rumah, ada yang sendiri menyepi jauh dari bagian rumah, ada yang ikut disemen di bagian sofi-sofi rumah dengan teknik semen yang sangat tidak rapi, ada yang ekstrem menempelkannya bersama penangkal petir , bahkan di gedung pemerintahan sebelah Gedung Sate, saya melihat perlakuan yang sama yaitu ditambatkan pada tiang (mungkin besi karena tidak terlalu jelas)  yang panjang dan di sematkan di ujung atap, dan jika diamati merusak penampilan gedung nan megah ini. Coba siapa yang ngomel-ngomel saat cinta fitri dinikmati dengan semut menghiasi layar televisi? kata pertama yang kita ucapkan pasti “ah! antenanya nih pasti!”. Kasihan sekali sang antenna sudah ditempatkan ditempat yang menyedihkan, harus disalahkan pula,  seharusnya yang harus disalahkan itu siapa yang memasang, dimana dan bagaimana. Antena hanya benda mati yang tidak bisa berkata ingin diletakkan dimana. Dan hal kedua yang kita lakukan pasti kita akan langsung mengadu pada ayah (bukan ibu) untuk membetulkannya atau tukang yang juga laki-laki. Disaat begini ayah (laki-laki) adalah pahlawannya, pahlawan antenna.

Sadar atau tidak, Antena sudah berkontribusi dalam kehidupan keseharian kita, ada yang duduk di depan layar seharian untuk menonton kartun lalu drama korea lanjut sinetron, ada yang menunggu tayangan sepak bola, balapan F1 atau GP, atau menonton berita yang penting untuk up-date apa yang terjadi dalam kehidupan, televisi sudah menjadi teman kita untuk melihat di luar jangkauan kita dan bagaimana bisa kita melihat apa yang kita saksikan di layar tanpa keberadaan antenna.

Kalau teori “semua yang dilakukan kita di bumi ini butuh ruang” bolehlah saya mengkategorikan kalau antenna ini juga melakukan sesuatu untuk kehidupan kita dan butuh ruang serta penempatan yang tentunya lebih layak. Ekstrimnya, paling tidak saat merancang, antenna ini ikut disertakan dalam perencanaan peletakan supaya dia bisa melakukan kegiatannya mencari sinyal dengan baik, tidak menganggu keindahan, diperlakukan secara layak dan yang terpenting tidak disalahkan lagi.

Terimakasih oh antenna berkatmu irfan bachdim terlihat sangat tampan. Ayo perlakukan antenna dengan penuh kasih sayang!!!

27
Oct
10

estetiskah?

“Through aesthetic reflection we endeavour to create a world in which we are at home with others and with ourselves”.- Roger Scruton


Menurut Roger Scruton, melalui estetika, kita berusaha untuk menciptakan dunia dimana kita merasa “at home with others and with ourselves”. Namun apakah terdapat suatu objektivitas dalam estetika atau hal tersebut merupakan suatu hal yang subjektif? Apakah estetika tesebut estetis untuk si arsitek, untuk actors dalam bangunan tersebut, atau untuk orang lain? Menurut 22 poin tentang ‘architectural principles in an age of nihilism’, estetika dapat dipertahankan kalau bisa mempertahankan image dari budaya masyarakatnya. Estetika dalam kehidupan sehari-hari hadir dari proses penyesuaian. Estetika yang ada harus menggambarkan dan disesuaikan dengan konteks masyarakat urban yang ada. Yang estetis menurut kelompok masyarakat yang satu bisa tidak estetis menurut yang lain. Untuk mengetahui pendapat masyarakat mengenai estetika, salah satu metode untuk mencari tahu adalah dengan menggunakan metode partisipasi. Contoh yang saya ambil adalah dua perpustakaan anak- Safe Haven Library di Ban Tha Song Yang, Thailand dan Norfolk& Norwich Library di Inggris. Actors dalam perpustakaan ini sama yaitu anak-anak, namun kita bisa melihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Yang satu menggunakan warna yang cenderung monoton sedangkan yang lain cenderung warna-warni. Apabila dilihat dari sudut pandang anak-anak pada umumnya, pasti mereka memilih untuk membaca di perpustakaan yang warna-warni. Apabila kedua perpustakaan di tukar, apakah mereka masih tetap mau baca di perpustakaan tersebut? Mereka mungkin tidak merasa nyaman untuk membaca ditempat tersebut sehingga mereka tidak lagi menganggap perpustakaan mereka estetis. Perpustakaan tersebut menjadi tidak estetis bagi mereka karena mereka tidak nyaman berada di perpustakaan tersebut. Saya mengambil kedua contoh ini karena Safe Haven Library merupakan perpustakaan anak yang berbeda dari perpustakaan anak lain yang cenderung bermain bentuk, ruang dan komposisi warna. Di sini kita bisa melihat sisi lain dari estetika- yaitu estetika yang didasarkan pada keinginan dari actors yang ingin menggunakan ruang publik tersebut. Dalam hal ini, anak-anak panti asuhan mungkin memiliki harapan yang berbeda dari anak-anak yang mampu. Karena mereka belum mempunyai tempat untuk membaca, maka keinginan mereka hanya terbatas pada sekedar hanya ingin memiliki perpustakaan. Ia tidak begitu peduli mengenai warna, komposisi, permainan ruang. Namun beda dengan anak-anak yang mampu yang keinginannya melebihi sekedar mengingini suatu perpustakaan namun juga perpustakaan yang warna-warni, dll. Di sini kita bisa melihat bahwa estetika merupakan suatu hal yang subjektif. Yang merupakan masalah adalah ketika perpustakaan tersebut tidak estetis menurut masing-masing konteks masyarakat.

26
Dec
09

“Ikan Sapu-Sapu” Elemen Arsitektural yang Terlupakan

Pengalaman ini terjadi beberapa tahun silam, ketika saya mendapatkan suatu project dalam kuliah saya dimana project tersebut keberadaannya haruslah berada pada wilayah kampus ui-depok yang masih alami. Selama pencarian site, banyak hal yang saya temui didalam hutan kota yang menjadi bagian dalam wilayah kampus ui ini. Hutan kota yang ada dihiasi oleh pepohonan tinggi, semak belukar, hingga situ (danau buatan) yang membelah.

Karena itulah, tak hanya hanya bagian dalam hutan yang kami sisiri tetap juga sepinggir situ-situ yang ada. Selama menyisiri situ, ada hal yang membuat saya merasa sangat terganggu, yakni bebauan yang berasal dari balik semak belukar disepanjang situ. Bebauan tersebut sungguh menusuk indera penciuman saya dan menggelitik indera penglihatan saya untuk mencari sumber bebauan tersebut. Ternyata bebauan tersebut berasal dari ikan sapu-sapu yang telah mati dan dengan jumlah yang tidak sedikit serta tersebar di sepanjang sisi situ.

Rasa penasaran saya tak berhenti sampai disitu, saya pun mencoba mencari tahu ‘apa’ penyebab kematian ikan sapu-sapu tersebut. Saya akhirnya menjumpai beberapa orang yang sedang beraktifitas di sekitar situ, ternyata aktifitas yang mereka lakukan yakni menjaring dan memancing ikan. Sasaran mereka antara lain ikan mujair/nila, namun apabilayang didapat ialah ikan sapu-sapu, secara ‘spontan’ mereka akan membuangnya ke daratan (tidak mengembalikan kedalam situ-red). Jadilah, disepanjang situ penuh akan ikan sapu-sapu yang mati yang mengeluarkan bau tak sedap dan menjadi sumber penyakit.

Saya kembali teringat memori akan kejadian yang telah lalu, dimana setiap saya membeli ikan hias selalu disertai membeli ikan sapu-sapu. Ikan sapu-sapu merupakan ikan yang sangat menguntungkan bagi para pecinta ikan hias dalam aquarium, karena ikan sapu akan memakan segala kotoran dan lumut yang menempel pada kaca aquarium. Aquarium pun akan terlihat menjadi lebih bersih setiap harinya, sehingga aquarium dan penghuninya menjadi elemen penghias yang indah dan hidup yang dapat mewarnai kehidupan didalam setiap hunian.

Sesungguhnya apabila para petani ikan (pemancing) dapat lebih mengerti akan potensi dari ikan sapu-sapu. Ikan sapu-sapu dapat menjadi ladang pendapatan untuk kehidupan para pemancing. Karena walau bagaimanapun dipasaran ikan hias, ikan sapu-sapu masih memiliki nilai ekonomi tersendiri. Dengan begitu ikan sapu-sapu tak hanya menjadi ‘bangkai’ yang menggangu lingkungan, tetapi juga menjadi pendapatan bagi pemancing dan bagian elemen arsitektural bagi para pecinta ikan hias dalam aquarium.

29
Nov
09

Domesticity in Public Place

Domesticity, sebuah topik yang diangkat dalam kuliah Everyday and Architecture ini membahas bagaimana peran manusia sebagai pengguna ruang turut ‘dilibatkan’ dan turut diperhitungkan keberadaannya dalam proses desain. Selain itu, bagaimana arsitek turut berperan dalam mewujudkan proses desain yang demikian – yang tidak hanya mewujudkan desain yang magz photo oriented, tetapi juga human, user oriented. Kurang lebih demikianlah yang saya dapatkan selama mengikuti kuliah mengenai domesticity ini.

Pada akhir kuliah, saya mengambil kesimpulan bahwa domestisitas dalam desain sangat penting dan berpengaruh terkait dengan arsitektur keseharian. Kesimpulan saya inipun turut memperkuat argumen “Architecture of the everyday acknowledge domestic life: Repetition of familiar things” (Berke, 1997). Walaupun demikian, saya banyak bertanya-tanya mengenai penerapannya dalam desain.

Seperti yang dijelaskan saat kuliah, arsitek seringkali terpaku pada bagaimana menyajikan sesuatu yang saya sebut sebagai ‘estetis semu’. Hal ini terkadang membuat para perancang membuang segala hal yang mengganggu nilai estetis tersebut tanpa menghiraukan cerita-cerita yang memiliki makna penting bagi pengguna desain. Lalu, apa yang sebaiknya arsitek lakukan? Pada akhirnya, kita pun menemukan jawaban di mana arsitek dalam proses desainnya, seharusnya memikirkan dan turut mempertimbangkan peran pengguna desain. Kemudian, muncul lagi sebuah pertanyaan. Apabila arsitek dituntut berada dalam situasi di mana ia harus menghasilkan desain yang diperuntukkan bagi banyak orang, bagaimana seharusnya ia bersikap? Merancang sesuai dengan kebutuhan setiap orang-kah? Atau mengambil kesamaan, nilai-nilai umum, dan generik? Yang tentunya dalam hal ini sangat amat berbeda dengan prinsip domesticity. Apakah dengan demikian, everyday architecture tidak dapat diterapkan pada ruang publik?

Pada akhir perenungan, saya pun berhenti di mana terbentuk sebuah kesimpulan bahwa desain yang mementingkan domesticity belum tentu sebuah desain yang unik terhadap individu tertentu saja. Namun, yang ingin ditekankan adalah lebih pada bagaimana sebuah desain diterapkan dengan memperhitungkan dan mempertimbangkan keberadaan manusia, si pengguna, dengan KULTUR yang spesifik. Kultur di sini dapat menjadi bentuk generalisasi dalam mendesain ruang-ruang publik, tanpa mengesampingkan pengguna ruang tersebut. Jadi, domesticity yang erat kaitannya dengan everyday architecture tidak eksklusif pada ruang-ruang non publik, tetapi juga dapat diterapkan pada ruang publik. Hal ini pun secara tidak langsung menegaskan bahwa everyday architecture dapat menjamah seluruh praktek desain. Lalu, bagaimana menurut pendapat anda?

25
Nov
09

Beauty Vs Ugly

Berbicara tentang beauty atau ugly pasti dengan mudahnya kita memilih salah satu diantara keduanya, yaitu “beauty” sebagai salah satu faktor yang membuat sesuatu terlihat lebih ideal. Tetapi kemudian saya mempertanyakannya ketika terlibat sebuah pembicaraan ringan dengan salah satu kontributor untuk web ini yang menggunakan username “holydragon”.

Pembicaraan mengenai mana yang lebih penting antara “beauty” atau “ugly”. Analoginya seperti ini: “Apakah kecantikan seorang wanita itu penting atau ketampanan seorang pria itu penting dalam hal mencari seorang pasangan?”. Mungkin dengan mudahnya akan dijawab faktor itu memang penting, atau sebaliknya dengan mudah menjawab tidak penting, yang lebih penting adalah “inner beauty”. Situasi diatas adalah suatu hal yang pasti selalu terjadi.

Dapat dikatakan bahwa dalam hal ini faktor “beauty” menjadi bukan sebuah masalah. Baru menjadi masalah jika berada dalam bahasan factor “ugly”. Jika ada pertanyaan, “Mau atau tidak mempunyai pasangan yang “jelek”? Semua orang akan berkata tidak.

Dari analogi diatas, saya melihat bahwa faktor “ugly” jauh lebih menjadi hal yang penting daripada “beauty”. Jika kita memiliki pasangan yang tidak “cantik-cantik amat”, mungkin tidak masalah. Baru akan jadi masalah jika pasangan kita “jelek”. Begitu pula yang terjadi pada keseharian kita yang lain. Kita cenderung menganggap yang kita kejar adalah suatu “beauty”, tanpa sadar sebenarnya yang lebih dulu kita lakukan adalah menghindari “ugly”.

17
Nov
09

Ugliness

Perfect object = finished ; completed
Any addition or substraction from the object would ruin its form (Aristotle)

Berdasarkan kutipan di atas, hal ini dapat diartikan bahwa suatu objek yang sempurna adalah objek yang sudah selesai. Dan jika ditambahkan oleh sesuatu ataupun dikurangi maka akan merusak bentuk itu sendiri.

Ketika membaca kutipan ini saya sedikit bingung jika dipandang dari segi arsitekturalnya. Namun, ketika diberikan suatu contoh oleh dosen saya, saya mulai memahaminya. Contohnya adalah ketika kita menyusun suatu denah yang terlihat sudah sempurna tetapi tiba-tiba kita teringat bahwa masih ada ruang yang terlupakan. Seperti ruang servis ataupun utilitas. Secara tak sengaja dan ingin cepat-cepat selesai mungkin saja kita ingin memaksakan kehadiran ruang tersebut dengan menambahkannya saja diluar dari denah tersebut. Penambahan ruang yang sangat dipaksakan ini tentunya akan merusak bentuk denah itu secara keseluruhan.

Berikutnya saya ingin memberikan suatu contoh nyata yang pernah saya temui beberapa waktu yang lalu.

Pada masa sekarang ini banyak dijumpai rumah-rumah yang dibangun oleh developer dengan desain yang tipikal. Dimana biasanya 1 rumah mempunyai pencerminannya sehingga terdapat 2 rumah yang tipikal. Pencerminannya tersebut membuat 2 rumah itu menempel. Namun, bagaimana jika pencerminannya tidak bisa menghasilkan rumah yang saling menempel karena keterbatasan lahan? Tentunya ada gap di antara kedua rumah tersebut. Bisa saja gap itu berupa jalan sehingga kita tidak terlalu mempedulikan di mana hasil dari pencerminan rumah tersebut. Di bawah ini saya mencoba memberikan suatu contoh jika gap tersebut bukan berupa jalan.

Gap yang terlihat di gambar ini merupakan ruang kosong yang mempunyai lebar kurang lebih 1 m dan menyempit dibagian belakangnya. hal ini terjadi karena lahan tersebut tidak mempunyai ukuran dan bentuk yang pas untuk kedua rumah yang sudah ditentukan besarannya ini. Ruang kosong ini sangat membuat visual kita terganggu. Ruang ini seperti penambahan dari sebuah pencerminan 1 rumah yang sangat dipaksakan. Menurut saya, ruang ini merupakan ugly object.

Seperti kutipan di bawah ini,
The ugly object is an object which is experienced both as being there and as something that should not be there. The ugly object is an abject which is in the wrong place (Mark Cousins)

31
Dec
08

COMPLEXITY IN SIMPLICITY

Apa yang terpikir oleh kita tentang Building the Elegance?

Apa Elegance itu ?

Apa yang membentuk Elegance ?

Bagaimana proses terjadinya Elegance?

Apa yang terlihat ketika Elegance terbentuk ?

Apakah Elegance berhubungan dengan estetika ?

Adakah efek yang ditimbulkan ketika suatu objek Elegance hadir di tengah-tengah kita ?

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul ketika kita mendefinisikan Building the Elegance. Kita dapat menganalisa dari kata Building the Elegance. Building yang dimaksud disini menggambarkan suatu proses yang terjadi sehingga Elegance itu dapat terbentuk. Proses ini memiliki pengertian membangun atau mendirikan sebuah objek Elegance berdasarkan pada sebuah atau beberapa prinsip, syarat, dan peraturan. Ketika proses membangun itu terjadi maka terdapat peluang terjadinya proses penambahan pada objek tersebut.

Proses yang terjadi merupakan proses yang dinamis. Proses terjadi pada saat sebuah objek hadir sampai membentuk sesuatu yang Elegance. Proses tidak terhenti disatu titik tetapi terus berlanjut hingga objek Elegance tersebut bertumbuh dan berkembang. Proses ini mengandung nilai kontinuitas dan kesinambungan. Kontinuitas ini memiki ritme dan pola tertentu yang disesuaikan dengan space atau place dari keberadaan objek tersebut.

Elegance itu sendiri sering diartikan dengan objek yang memperlihatkan kehalusan, keanggunan, kesederhanaan, dan kemurnian. Elegance is the attribute of being unusually effective and simple. It is frequently used as a standard of tastefulness, particularly in the areas of visual design and decoration. Elegant things exhibit refined grace and dignified propriety.

Some westerners associate elegance with simplicity and consistency of design, focusing on the main or basic features of an object, its dignified gracefulness, or restrained beauty of style.

Others understand the word in an opulent light as in tasteful richness of design or ornamentation. ( Wikipedia ).

Bagaimana sebuah objek dapat disebut Elegance? In the everyday, Elegance is wholly subjective attribute. Whether we deem someone to be ‘ Elegant’ is entirely dependent on our own personal perception of their outward appearance. ( Manuel Delanda, AD Journal, hal : 18 ).

Elegance merupakan sesuatu yang sifatnya subjektif. Pengertian Elegance dapat berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan persepsi manusia dalam menilai sebuah objek berbeda-beda. Elegance pertama kali terlihat dari fisik suatu benda, oleh karena itu penampakan luar dari sebuah objek Elegance sangat penting.

Elegance itu sendiri terbentuk oleh beberapa elemen yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Elegance berhubungan dengan sebuah estetika yang dapat ditangkap oleh visual penglihatan kita dan dapat dirasakan secara emosional. Proses terjadinya Elegance didukung oleh faktor eksternal dan faktor internal yang saling berintegrasi satu sama lain.

Elegance harus bisa mengatasi segala hambatan yang datang dari faktor eksternal. Ketika hambatan itu datang, maka hambatan itu akan menjadi sebuah masalah yang kompleks. Elegance harus bisa mencari solusi untuk masalah yang kompleks itu. Ketika suatu solusi didapatkan dengan mengubah hambatan negatif menjadi sesuatu yang bersifat positif, maka solusi itu disebut solusi Elegance. We also talk about an elegant solution to complex problem. In fact only if the problem is complex and difficult does the solution deserve the attribute ‘elegant’. While simplistic solutions are pseudo-solutions, the elegant solution is marked by an economy of means by which it conquers complexity and resolves ( unnecessary ). ( Patrick Schumacher, AD Journal, hal:30 )

Ketika sebuah Elegance terbentuk maka kita bisa melihat kehadirannya sebagai suatu yang positif. Kehadirannya dapat meminimalisir nilai-nilai negatif yang ada pada sebuah space atau place. Kita dapat melihat sebuah keunikan dari kehadiran Elegance di sebuah space atau place. Ada sebuah cerita yang menggambarkan keunikan dari Elegance itu sendiri.

24
Nov
08

what is aesthetic?

Sebenarnya apa itu estetika? Mengapa arsitektur seringkali dikaitkan dengan estetika,art, atau beauty? Dan bagaimana hubungan antara arsitektur and estetik itu terjadi? Pada abad ke17 sampai awal abad 20, estetika mengalami revolusi yang dikatakan sebagai modernism. Di zaman ini, para pemikir Jerman dan British menekankan beauty sebagai komponen dalam art dan the aesthetic’s experienced dan melihat bahwa tujuan penting dalam art adalah beauty. *

Menurut Baumgarten,” aesthetics is the science of the sense experiences, a younger sister of logic, and beauty is thus the most perfect kind of knowledge that sense experience can have”.*

Menurut Kant, “For Kant the aesthetic experience of beauty is a judgment of a subjective but universal truth, since all people should agree that “this rose is beautiful” if it in fact is.*

Menurut Earl of Shaftesbury,” Aesthetic was identical to the moral sense, beauty just is the sensory version of moral goodness”.*
Berdasarkan ketiga kutipan diatas, estetik sangat berkaitan dengan sense of experience of beauty yang terjadi secara subjektive. Namun ketika estetik dikaitkan dengan arsitektur,apakah estetik ini juga adalah sesuatu yang selalu berkaitan dengan beauty? Seringkali design arsitektur yang terlihat secara visual indah maka, bangunan itu akan dikaitkan dengan estetik. Dalam buku Jurnal Architecture Design dikatakan bahwa Elegance,salah satu property dari estetik, adalah sesuatu yang mempunyai motion yang terlihat lebih ringan dibandingkan sesuatu yang static. Dan contoh bangunan yang memiliki motion dikatakan adalah Dancing House di Prague, Czech Republic yang didesain oleh Frank Gehry.

dancingbuilding Dari bangunan ini terlihat, bahwa motion yang terjadi adalah secara fisik bangunan, dimana bangunan ini terlihat seperti bergerak menari. Lalu yang menjadi pertanyaan disini adalah mungkinkah apabila motion atau estetik ini bisa diwujudkan tanpa harus menunjukkan gamblang bangunan itu seperti bergerak. Karena apabila estetik dikaitkan dengan sense maka yang berperan adalah emosi apa yang akan timbul dari bangunan itu. Apa tidak mungkin sesuatu yang simple dapat dikatakan ber-motion?

Memang panca indera yang paling mempengaruhi sense adalah visual, namun apabila hanya bergantung secara visual, maka penilaian estetika yang terjadi tentunya akan selalu subjective. Apabila secara visual bagus dan terlihat futuristic maka itulah design yang indah. Dan seringkali arsitek pada akhirnya hanya memikirkan bentuk luar yang indah untuk bangunannya lalu bagian yang lain-lainnya baru mengikuti bentuk luar itu. Sebenarnya sampai sejauh mana antara estetik dan fungsi sebenarnya pada bangunan itu harus diseimbangkan? Apakah baik apabila arsitek lebih menitikberatkan unsur venustas didalam bangunannya dibandingkan firmitas dan utilitas? Apabila penilaian estetik dalam arsitektur terus-terusan terjadi hanya secara visual dan subyektive, lalu apa arsitektur itu sebenarnya. Apakah arsitektur adalah sesuatu yang selalu indah dan enak dilihat semata? Bukankah arsitektur ada dari manusia dan untuk manusia. Dan apakah keindahan pada bangunan memberikan keuntungan pada manusia yang akan menghuninya? Bukankah keindahan itu pada akhirnya hanya akan berfungsi untuk meningkatkan harga diri dari penghuni didalamnya saja? Lalu untuk apa estetik itu sebenarnya dalam arsitektur?

*http://en.wikipedia.org/wiki/Aesthetic

13
Nov
08

Between Science and Art

Arsitektur tidak pernah lepas dari disain. Disain bukan merupakan sekedar produk akhir, tetapi berupa proses berpikir yang panjang. Dan kemampuan ini yang semua orang bisa kuasai.

Bagi sebagian orang, untuk bisa mendisain diperlukan kecerdasan otak kanan yang didominasi oleh kemampuan yang berhubungan dengan estetika. Sementara yang saya tahu, setiap manusia memiliki tendensi kemampuan otak kanan dan kiri yang berbeda-beda. Namun apakah orang dengan kemampuan otak kirinya lebih dominan dari otak kanannya tidak bisa menjadi seorang disainer? Apakah kemampuan mendisain itu bisa dipelajari seperti mempelajari hitungan ilmu pasti?

Ternyata disain merupakan sebuah keahlian yang sulit dipelajari karena tedapat kekompleksan di dalamnya. Pada dasarnya disain bisa dipelajari dan dipraktekkan. Karena disain tidak hanya sekedar melihat sisi seninya, tetapi ilmu dan teknologi juga mempengaruhinya. Jika kita bandingkan seorang ilmuwan dengan disainer, maka pola berpikir seorang disainer lebih dari sekedar memikirkan sains, tetapi juga seni. Sementara ilmuwan hanya terikat pada pola-pola metode secara ilmiah. Dengan kata lain seorang disainer mempunyai cara berpikir lebih kompleks daripada ilmuwan, sehingga disainer harus bisa menyeimbangkan kecerdasan otak kiri dan kanannya. Namun bagaimana jika belum seimbang?

Kreatifitas dan disain merupakan dua hal yang saling terkait. Kreativitas lahir bukan sekedar dari situasi yang tidak stabil melalui pemikiran-pemikiran yang bercabang. Menurut saya kreativitas itu lahir melalui pemikiran yang lurus maupun bercabang dalam kondisi stabil maupun tidak, asalkan kita bisa menyeimbangkankannya dengan situasi yang ada. Hanya saja dosis pemakaian pemikiran bercabang harus lebih boros daripada yang lurus. Tapi kenyataannya, kebanyakan orang lebih suka berpikir secara lurus daripada bercabang. Karena berpkir dengan menggunakan nalar dan logika lebih gampang dikendalikan daripada imajinasi. Namun justru hal ini yang sulit dimiliki oleh setiap orang karena pemikiran manusia cenderung sudah terkotak-kotak.

Pengalaman adalah guru yang baik. Tapi bagi saya, ungkapan ini tidak pantas digunakan dalam mendisain. Pengalaman hanya akan membatasi ruang berpikir kita sehingga menjadi terkotak-kotak. Namun efeknya, banyak kesalahan yang dapat terjadi karena tidak adanya patokan kasus sebelumnya. Tetapi hal ini justru akan memberikan pelajaran yang lebih bermakna.

Disain tidak akan ada tanpa adanya kreativitas. Dan kreativitas tidak akan ada tanpa adanya keberanian berpikir. Namun keberanian berpikir harus ada yang bisa melandasinya agar tidak terlalu liar. Disini kecerdasaan otak kiri bisa memfilter keliarannya. Karena jika seseorang sudah mencoba untuk bepikir secara bebas, kecenderungannya orang tersebut lupa akan adanya hal-hal yang rasional dan tidak. Sehingga seni dan ilmu harus bisa berjalan selaras karena seni dapat diwujudkan dengan ilmu dan ilmu menjadi bermakna dengan adanya seni.

11
Nov
08

Why Do Architects Learn Art?

Mengapa seorang arsitek atau  pelajar arsitektur mempelajari  seni ? itulah yang belakangan menjadi pertanyaan, ya mengapa? sebenarnya apa peran dan tugas arsitek, apa yang membedakan arsitek dengan orang biasa (bukan arsitek) dalam merancang? ketika saya mengambil mata kulah metode  dan teori perancangan, di awal kuliah saya diberi suatu bacaan yang ditulis oleh Bpk. Prof. Gunawan Tjahjono yang mengatakan bahwa setiap manusia itu sebenarnya memiliki kemampuan merancang. Pada waktu pertama kali manusia ada di bumi ini, bukankah mereka hidup di gua-gua atau hanya beratapkan dedaunan/ batang-batang pohon, bukankah dengan mereka membuat pelindung tersebut mereka sudah dikatakan merancang?

Kembali lagi pada pertanyaan di awal, jika memang semua orang ternyata memiliki kemampuan merancang, apa yang membedakannya dengan arsitek? pada tahun pertama seorang pelajar arsitektur akan diperkenalkan pada seni, untuk apa? arsitektur yang seringkali kita dengar adalah selalu terkait dengan estetik, seni, bangunan arsitektur adalah bangunan yang berseni.  Menurut saya yang ingin dicapai ketika kita sebagai seorang pelajar arsitektur mempelajari seni adalah untuk menjadikan kita lebih peka terhadap seni, dan mengeluarkan sense of art kita. Sejauh mana parameter kita mengatakan sesuatu itu indah, bagus atau jelek. Bagaimana kita melihat sekitar kita sebagai sebuah seni? mungkin saja sesuatu yang ada disekitar kita yang terlihat biasa saja, bisa menjadi sesuatu yang menarik ternyata bila kita melihatnya lebih dalam lagi, ada seni didalamnya baik itu dari teksturnya, komposisinya atau warnanya. Karena sebenarnya seni/desain itu ada disekitar kita.  Dan sudut pandang orang melihat sesuatu itu indah atau tidak adalah salah satunya berdasarkan pengalaman. Hal inilah yang menjadi salah satu tujuan seorang  pelajar arsitek mempelajari seni. Karena seorang arsitek menurut saya harus peka terhadap seni. Hal inilah  yang membedakan  mereka dengan  orang biasa, mungkin ketika orang awam merancang sesuatu, mereka lebih melihat ke fungsinya saja atau sebaliknya karena ingin meniru suatu profil desain di majalah akhirnya mereka merancang yang sama. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuann mereka, apa sebenarnya yang menjadi dasar ketika seseorang itu merancang?

Sedangkan arsitek, ketika merancang mereka tidak hanya menampilkan salah satu hal saja.  Ketika  mereka merancang sesuatu dengan bentuk tertentu, harus ada maksud di balik bentuk tersebut, ada maknanya dan ada keterkaitan dengan fungsi dan keberlangsungan kehidupan manusia di dalamnya . Belakangan ini sering kita temui bangunan dengan rancangan yang indah tetapi tidak ada maknanya, hanya sekadar menampilakan fasadnya saja. Mungkin saja fasad bangunan yang dibuat oleh arsitek terlihat biasa saja, tapi sebenarnya ada seni yang ingin dia tampilkan pada bangunan tersebut namun secara tidak langsung.

Jadi mengapa arsitek harus mempelajari seni? karena ketika mereka merancang, ada unsur seni didalamnya, seberapa jauh rancangan mereka itu mampu menarik mata bagi yang melihatnya, dan ini terkait dengan teori Vitruvius dimana dalam merancang itu ada unsur utilitas (fungsi), firmitas(kekokohan) dan venustas (keindahan),selain itu juga tidak meninggalkan unsur manusia di dalamnya.

10
Nov
08

Is Elegance only “Beauty”?

Kata “elegance” seringkali dikaitkan dengan taste, refinement, atau luxirous. Ketika suatu objek ber-appearance mewah dan mempunyai nilai yang tinggi maka itu akan dikatakan elegan. Namun apakah elegan tidak bisa dikaitkan dengan sesuatu yang lebih complex?

“Elegance articulates complexity. And: The articulation of complexity prevents perplexity. An elegant building or urban design should therefore be able to manage considerable complexity without descending into disorder.” (Patrik Schumancher.“Arguing the Elegance”.2006.London:Architectural Design)

Namun sebenarnya apa itu complex? Berdasarkan kutipan diatas complex bukanlah sesuatu yang pasti disorder atau bukanlah sesuatu yang pasti sulit dimengerti. Namun arti Elegance articulates complexity lebih dimaksudkan dimana elegance ini mengandung sebuah system yang lebih kompleks didalamnya. Apabila kompleks hanya teraplikasikan secara visual maka kompleks inilah yang bisa menuju perplexity (kebingungan), namun ketika elegance mempunyai system didalamnya maka elegance ini mungkin tidak akan terlihat secara visual saja namun juga dengan dimengerti apa yang terkandung di dalamnya. Ketika elegance dikaitkan dalam sebuah sistem, maka elegance ini dimaksudkan dengan:
“Elegance allows for an increased programmatic complexity to coincide with a relative reduction of visual complication by means of integrating multiple elements into a coherent and continuous formal and spatial system” (Patrik Schumancher.“Arguing the Elegance”.2006.London: Architectural Design)

Didalam elegance terdapat dua hal yang terjadi bersamaan, yaitu dimana terjadi pereduksian komplikasi secara visual namun terjadi penambahan program didalamnya. Dimana program ini saling berkontinu dan saling cocok satu sama lain. Sistem yang terjadi di elegance adalah system yang order dimana antara satu dengan yang lainnya saling terkait. Ketika ada satu element dalam system itu tidak berkaitan dengan yang lainnya maka kekontinuan itu tidak akan terjadi dan ada hal yang tidak koheren.

Kekontinuan dan kecocokan tentu terkait dengan adanya sebuah proses. Ketika proses dapat terus berjalan (kontinu) maka tiap elemen dari proses itu harus saling ber-connecting didalamnya dan connecting itu hanya dapat terjadi ketika elemen-elemen itu saling cocok satu sama lain (mempunyai kesamaan didalamnya).
Lalu seperti apakah elegance ketika dimasukkan kedalam everyday life? Ketika dalam keseharian, elegance selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan visual, namun mungkinkah sebenarnya terdapat elegance dalam everyday life namun hal ini sering kita tidak sadari karena standard elegant yang selama ini kita percaya?




This is a blog for any ideas, thoughts, questions and anything else related to architecture and everyday. Writings in this blog were submitted by students of "Architecture & Everyday" class at the University of Indonesia, as our attempts of reading and re-reading of our everyday and our architecture