Karya arsitektur merupakan suatu ruang yang dirancang oleh arsitek dan dinikmati oleh pengguna (masyarakat) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam merancang karya aristektur ini, terdapat dua dasar yang dapat diterapkan oleh seorang arsitek, yaitu merancang melalui standar yang ada dan merancang melaui partisipasi.
Merancang dengan standar yang telah ada, seringkali membuat arsitek tidak perlu beinteraksi dengan masyarakat yang menggunakan, karena sang arsitek berpikir bahwa standar yang telah dibuat sebenarnya berasal dari masyarakat itu sendiri dan melalui standar yang ada dapat tercipta karya arsitektur yang indah. Namun pada kenyataannya, masyarakat dalam kehidupan kesehariannya dengan beragam kebudayaan memiliki keunikan yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Sehingga, standar arsitektur yang telah ditetapkan suatu negara dapat tidak berguna jika digunakan di negara yang berbeda, dan karya arsitektur yang diciptakan akan diubah sesuai keinginan pengguna atau bahkan tak ada yang akan menggunakannya. Hal ini yang menjadi kelemahan dalam merancang melalui standar yang ada. Seperti yang dikatakan Prince of Wales’s model housing development in Dorest, ‘architects had no monopoly of the taste,….’ (the uses of decoration, pg.160). Bagaimana dengan merancang melalui partisipasi pengguna dan arsitek? Apakah arsitektur yang tercipta akan tetap indah?
Merancang melalui partisipasi diterapkan oleh ECU (Education Care Unit) di SDN 13 Petang, Srengseng. Program ini diberikan untuk anak-anak kelas 4 SD yang merupakan golongan minoritas dalam lingkungan arsitektur. Tema yang dibuat yaitu mengenai rumah sehat. Dalam kegiatan ini, terdapat dua pihak yang berperan dalam merancang rumah yang sehat yaitu anak-anak SD (sebagai pengguna) dan fasilitator (sebagai arsitek). Kedua pihak ini saling bekerjasama dalam bentuk diskusi dan membuat model rumah sehat.
Diskusi merupakan suatu pendekatan dalam merancang melalui partisipasi. Dalam tahap diskusi awal ini, fasilitator mencoba mengenal anak-anak SDN 13 melalui tempat tinggal dan kondisi tempat tinggal mereka. Sebagian besar dari anak-anak ini tinggal dekat dengan sekolah mereka dan memiliki kondisi tempat tinggal yang berbeda. Tahap diskusi kedua ini, fasilitator mencoba mengetahui seberapa dalam pengertian anak-anak SD ini mengenai sebuah rumah yang sehat melalui ruang-ruang yang nyaman dan tidak nyaman dalam rumah mereka, dan mengapa mereka merasa nyaman dan tidak nyaman. Tahap ini merupakan tahap yang mudah bagi anak-anak SDN 13, namun memiliki kesulitan dalam menjelaskan mengapa nyaman ataupun mengapa tidak nyaman. Tahap diskusi selanjutnya mengenai main mapping masalah dalam rumah dan solusinya. Masalah yang muncul dalam rumah berupa pengap, bau, gelap, dan gersang. Anak-anak menguraikan penyebab terjadinya masalah dan mencoba mencari solusinya. Solusi yang diajukan merupakan solusi yang sederhana, seperti masalah pengap, penyebabnya karena tidak ada jendela, maka solusi yang dikemukakan anak-anak secara spontan yaitu membuat jendela. Solusi tersebut tampak sederhana, namun secara tidak langsung fasilitator (arsitek) memberikan pengertian pada anak-anak SD (pengguna) bahwa rumah yang sehat sebaiknya menggunakan jendela agar udara dapat masuk sehingga ruang menjadi tidak pengap. Bentuk partisipasi aristek terhadap pengguna pada tahap ini terjadi melalui diskusi yang menghasilkan pengertian mengenai rumah sehat dan masalah serta solusi dalam penyelesaian masalah.
Tahap berikutnya berupa membuat model lingkungan rumah yang sehat. Membuat model lingkungan rumah yang sehat bagi anak-anak SD Negeri 13 Srengseng ini merupakan tahap yang menyenangkan. Mereka dapat merancang rumah masing-masing dan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemahaman mengenai rumah sehat yang telah didiskusikan sebelumnya. Pada tahap ini, tiap anak merancang rumah mereka dengan memberikan pintu, jendela, dan kanopi berdasarkan kreatifitas mereka masing-masing. Mereka juga membuat banyak pohon, meletakkan tempat sampah, pagar, lampu jalan, kolam bersama dan lapangan bersama. Partisipasi yang diberikan fasilitator (arsitek) seperti, ketika ada anak yang meletakkan tempat sampah tepat di depan jendela, maka fasilitator memberikan arahan melalui pertanyaan, apakah bau sampahnya tidak masuk ke dalam rumah? Kemudian anak (pengguna) berfikir sambil tersenyum dan mencoba meletakkan tempat sampahnya jauh dari jendela namun tetap di lingkungan rumahnya. Hasilnya berupa model lingkungan perumahan yang jika dilihat hanya berupa potongan kardus dan kertas, namun bagi anak-anak SDN 13, model ini merupakan suatu karya lingkungan rumah yang sehat dan mereka bangga akan karya yang telah mereka buat bersama ini. Bentuk partisipasi yang diberikan pada tahap ini berupa arahan dalam merancang rumah yang sehat.
Kegiatan yang dilakukan Education Care Unit ini merupakan kegiatan partsipasi yang membiarkan pengguna merancang lingkungan tempat tinggal mereka sendiri berdasarkan pengertian yang telah diberikan arsitek terhadap lingkungan tempat tinggal yang sehat. Secara tidak langsung, anak-anak ini telah belajar bagaimana merancang lingkungan yang sehat dan nyaman bagi mereka.
Merancang melalui partisipasi pengguna dan arsitek merupakan suatu proses perancangan yang tidak mudah. Seorang arsitek harus menghilangkan egonya dan bertukar pikiran dengan masyarakat sebagai pengguna. Kebutuhan dan keinginan dalam suatu masyarakat pun berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Namun, melalui diskusi maka proses tersebut akan dilalui dengan baik. Arsitek tidak lagi merancang melalui standar yang ada tetapi merancang berdasarkan masyarakat yang akan menggunakan rancangan tersebut, sehingga arsitektur yang dihasilkan berdasarkan partisipasi akan lebih berguna bagi masyarakat. Arsitektur yang dihasilkan selain bermanfaat bagi masyarakat juga memiliki sisi keindahan karena adanya partisipasi arsitek di dalam proses perancangannya. Keindahan yang terbentuk tidak hanya keindahan yang tampak secara visual, namun keindahan yang berarti sesuai pada tempatnya dan berguna bagi penggunanya. Seperti pernyataan Wates dan Knevitt, ‘the architect must produce something which is visually beautiful as well as socially useful’ (Wates and Knevitt, 1987:38).
comments