20
Nov
10

asisten rumah tangga yang terisolir dalam rumah

Dalam perjalanan saya dari rumah ke kampus, saya menemukan billboard iklan rumah dijual dipasang besar-besar di sebuah jembatan di Jakarta selatan. Terdapat tulisan yang besar dan berwarna kuning yang menurut saya paling mencolok dibanding tulisan-tulisan yang lainnya

4 kamar tidur

1 Kamar pembantu.

Hmm bukankah kamar pembantu itu berupa kamar tidur juga ? kenapa tulisannya harus dibedakan ?

Sebenarnya sejak dulu saya bingung, kenapa dalam zoning rumah tinggal, kamar pembantu identik dengan berada di ruang yang paling terisolir (biasanya di belakang), dengan luas kamar yang seadanya, dan juga dengan sirkulasi yang terbatas (misalnya sang pembantu harus memutar jauh untuk menuju ruang selain dapur atau ruang cuci seolah-olah mereka ‘dipaksa’ untuk hanya berkegiatan seputar mencuci dan memasak) ?

Asisten rumah tangga. Sebegitu tidak dianggapkah mereka sehingga harus diberi ruang yang paling kecil dalam rumah untuk mereka tidur? Sebegitu tidak ingin terlihat keberadaannya kah mereka sehingga mereka diberi ruang sejauh mungkin dari ruang lainnya ? Bukankah mereka juga bisa merasa lelah sama halnya saja dengan para ‘majikan’ yang kelelahan karena pekerjaan ? Bukankah mereka juga membutuhkan interaksi yang hangat walau hanya sebuah interaksi kecil?

Mereka bekerja di rumah orang lain, harus siap 24 jam 7 hari dalam seminggu, tidak dapat bertemu keluarga sesering orang-orang pada umumnya. Apakah ruangan kecil yang terisolir lah yang mereka butuhkan ?


9 Responses to “asisten rumah tangga yang terisolir dalam rumah”


  1. 1 niasuryani
    December 21, 2010 at 10:33 am

    mungkin hal ini berkaitan dengan pemisahan antara space untuk kegiatan servis, sebenarnya hal ini juga dilakukan untuk masalah efektivitas, saat pembantu ingin mencuci sambil memasak dan kegiatan itu bisa dilakukan bersamaan. setiap perletakan ruang memang selalu ada maksudnya seperti adanya kamar tidur utama justru di paling belakang agar saat orang tua pulang kerja dan menuju kamar tapi sambil mengkontrol semua kegiatan yang ada di rumahnya. kadang ada yang meletakkan kamar anak dekat dengan dapur agar saat melakukan kegiatan perumahtanggaan sang ibu tetap bisa mengawasi kegiatan anaknya.

  2. December 21, 2010 at 7:13 pm

    menurut saya, hal ini juga erat hubungannya dengan budaya kita sendiri di Indonesia dan mindset masyarakat kita yang sudah men-judge bahwa letak ruang pembantu itu harus ada batas ruang dengan tuan rumah karena berbeda strata sosialnya. Namun, untuk itulah arsitektur hadir untuk menjawab permasalahan-permasalahan ruang seperti itu, baik dari segi organisasi maupun fungsinya. Setidaknya, bisa memperbaiki alur tatanan ruang-ruang yang ada di dalam rumah itu. bisa dikatakan agar lebih memanusiakan ruang.

  3. December 21, 2010 at 9:45 pm

    Sepertinya ini berkaitan dengan topik pembahasan kuliah Everyday beberapa waktu yang lalu. 😀 Tadi disebutkan bahwa kamar pembantu letaknya selalu dekat dengan dapur atau tempat mencuci. Katanya, dulu dapur itu dianggap sebagai tempat yang kotor, dan di dapur memang tempat aktivitasnya pembantu. Mungkin dapur dan aktivitas pembantunya itu dianggap sebagai ‘dirt’ yang bisa mengancam suatu good space, yang dalam hal ini adalah rumah. Makanya dapur, atau tempat pembantu, tempatnya jauh di belakang, dulu malah dapur itu terpisah dari rumah utama, jadi tuan rumah nggak boleh melihat dapur. Anggapannya begini, coba kalau si pembantu yang aktivitasnya ‘kotor’ tersebut berada di tempat yang sama dengan ruangan lain dan si tuan rumahnya yang ‘bersih’, yang seperti itu rasanya bisa ‘mengacaukan sistem’. Kira2 begitu. 😀 Dan sepertinya peletakan ruang yang seperti itu masih berlaku hingga sekarang…

  4. December 23, 2010 at 11:53 am

    karena adanya perbedaan status… Si pemilik rumah mungkin berpikir bahwa pembantu adalah orang yang semi-asing baginya, jadi untuk apa menyediakan kamar tidur yang besar untuk pembantunya. Lagipula, menurut saya, kamar pembantu sengaja dibuat lebih kecil agar si pembantu tersebut tidak terlalu betah berlama-lama di dalam kamar tidurnya. Dengan begitu, pembantu tersebut lebih senang berada di luar kamarnya dan lebih termotivasi untuk melakukan pekerjaannya.

    • December 24, 2010 at 10:10 pm

      hmm.. mungkin sedikit sama dengan commentnya miktha, bahwa tergantung dengan budaya si pemilik rumah. terkadang, pembantu bukanlah sebagai kebutuhan primer bagi si pemilik rumah, jadi ketika mereka membangun rumahnya, ia menomor-sekiankan kamar pembantu. jadi, ketika mereka memutuskan untuk menambahkan kamar pembantu, mereka meletakannya di satu “sudut yang tak terjamah”, perhatikan saja, kamar pembantu pasti memiliki dimensi yang lebih kecl dibandingkan dengan kamar tidur yang lain. ini bisa jadi mengindikasikan bahwa si kamar pembantu memang difikirkan pada nomor kesekian dalam merancang suatu rumah. kalau di rumah saya sendiri kamar pembantu memang berdimensi lebih kecil dan dekat dengan ruang servis, tapi peletakannya dapat dikatakan sama sekali tidak terisolir, bahkan peletakannya sangat dekat dengan area berkumpul keluarga. peletakan kamar pembantu juga mengindikasikan bagaimana si pemilik rumah memperlakukan pembantu loooh 🙂

  5. December 25, 2010 at 11:13 am

    menurut saya, hal ini dikarenakan beberapa pertimbangan seperti kegiatan pembantu yang sebagian besari dihabiskan di ruang servis dan sekitarnya, sehingga untuk memudahkan pekerjaan didekatkanlah kamar pembantu dengan ruang servis.
    tapi kembali lagi ke kita, yang seringkali menempatkan pembantu di “bawah” kita. jika ditanya secara jujur, apakah mau kamar tidur utama di sebelah kamar pembantu..? bukan karena kotor atau hal lainnya, namun lebih karena kebiasaan dan pandangan rendah terhadap pembantu tersebut. padahal pembantu juga manusia.

    ya, kembali lagi ke diri kita sendiri 🙂

  6. December 25, 2010 at 1:56 pm

    terlepas dari pandangan masyarakat terhadap sosok asisten rumah tangga serta letaknya dalam hunian tersebut, ada sebuah fenomena yang menarik yang dapat kita ambil. Hal ini pula yang mendasari topik yang saya kemukakan pula dalam blog saya, yaitu mengenai self esteem yang ingin dimiliki oleh sang calon pemilik rumah (rasa ingin dihargai oleh orang lain). Dalam iklan tersebut terpampang “4 kamar tidur dan 1 Kamar pembantu” pernahkah anda berfikir, bahwa ini juga merupakan target marketing oleh sang pengembang saat membaca kebutuhan dan budaya calon pembelinya? Masyarakat modern kini cenderung menganggap, bila dalam rumah terdapat kamar pembantu (yang kemudian letaknya mungkin berjauhan dengan inti rumah utama), maka keluarga tersebut akan mendapat ‘penghargaan’ dari masyarakat yakni rumahnya tergolong suatu rumah yang ‘baik’ karena memisahkan segala sesuatu dalam kamar-kamar khusus. Dengan memiliki kamar pembantu merupakan komoditi ‘mewah’ dalam lingkup masyarakat arsitektur awam.

  7. 8 mijohanes
    December 25, 2010 at 3:16 pm

    Fenomena ini memperlihatkan bagaimana struktur sosial kita pada perkotaan. Seperti yang disebutkan Safitri diatas, rasa ingin dihargai dari masyarakat menjadi alasan bagaimana ruang itu di pisahkan. Sebenarnya hal seperti ini sudah ada sejak lama, dan sulit dihapuskan dari paradigma masyarakat bagaimana ‘kaum’ pekerja berada lebih di bawah dari pada pemiliknya. Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari gejala sosial yang ada, dan menjadi tantangan apakah arsitektur dapat mengintervensi sebuah struktur sosial yang ada.

  8. December 25, 2010 at 5:42 pm

    saya pribadi, sebagai keluarga pengguna jasa pembantu rumah tangga tak yang sudah sangat lama, tak ada pemisahan khusus bagi ruang-ruang pembantu (bisa dikaitkan dengan keterbatasan lahan dirumah) minimal hanya terjadi pada ukuran dan furniture yang lebih simpel dan cenderung murah.
    Dirumah saya, justru kamar pembantu diperlakukan seperti layaknya kamar lain. ukurannya yang sama dengan kamar adik, 3x3m, dengan spring bed ukuran yang sama dengan kamar utama. bahkan karena letaknya yang lebih ke “dalam” sehingga hangat dan dekat dengan taman, kamar pembantu sering “dijajah” oleh saya dan adik-adik saya. saudara yang datang pun sering tidur dikamar itu. Entah untuk sekedar bercanda atau bercengkrama dengan pembantu tersebut yang sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. kekurangannya adalah saya sering merasa kasihan karena tak ada lagi privasi di kamar tersebut. Dengan kata lain kami telah melakukan intervensi privasi sang pembantu. saya setuju dengan mikhael bahwa pemisahan tersebut tergantung dari struktur sosial yang ada. mungkin dirumah saya itu adalah hal yang lumrah. sekarang yang perlu ditanyakan adalah apakah pembantu tersebut nyaman didekatkan dengan ruang servis/diintervensi ruang pribadinya?..
    saya jadi teringat dengan arsitektur modern yang masih memakai zoning dan memperlakukan manusia layaknya robot. saya pikir perancang punya pemikiran masing-masing nantinya dalam mengolah ruang bagi manusia secara umum tak harus terpaku dengan apa yang sudah ada.


Leave a reply to miktha24 Cancel reply


This is a blog for any ideas, thoughts, questions and anything else related to architecture and everyday. Writings in this blog were submitted by students of "Architecture & Everyday" class at the University of Indonesia, as our attempts of reading and re-reading of our everyday and our architecture